Oleh : Prof Ema Utami (Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah kumpulan cerita pendek karya Ali Akbar Navis berjudul “Robohnya Surau Kami” terbit pertama kali pada tahun 1956 dan sejak itu dianggap sebagai salah satu karya sastra monumental Indonesia. Dalam kumpulan berisi sepuluh cerpen tersebut, kisah yang menjadi judul utama “Robohnya Surau Kami” menjadi magnet kuat yang menggugah kesadaran tentang makna iman dan tanggung jawab sosial. Cerpen itu berkisah tentang seorang kakek tua yang setiap hari menjaga sebuah surau kecil. Ia dikenal sangat tekun beribadah, namun hidupnya bergulir dalam keterasingan sosial.
Suatu hari, sang kakek mendengar cerita dari Ajo Sidi, seorang pekerja keras yang suka membual, tentang Haji Saleh yang hanya beribadah tanpa memedulikan kehidupan sosialnya. Cerita tersebut membuat si kakek merenung dalam kesedihan yang dalam, hingga akhirnya ia bunuh diri. Kisah Navis menjadi sindiran tajam bagi pola keberagamaan yang hanya menekankan hubungan vertikal dengan Tuhan (hablun minallah) tetapi mengabaikan hubungan horizontal dengan sesama (hablun minannas). Surau yang roboh bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol robohnya kesadaran sosial dan tanggung jawab moral.
Surau, atau yang dikenal juga dengan sebutan langgar di Jawa, dan secara umum disebut musala dalam Bahasa Indonesia, merupakan tempat umat Islam beribadah dan mengaji. Senin, 29 September 2025 sebuah mushola yang berada di pondok pesantren Al Khoziny, Jawa Timur roboh dan menelan korban jiwa sebanyak 66 orang orang. Berdasarkan berbagai laporan media, runtuhnya bangunan diduga disebabkan oleh lemahnya struktur setelah dilakukan pengecoran pada lantai empat. Sejumlah ahli konstruksi yang dikutip dalam pemberitaan menyebutkan bahwa ketiadaan perhitungan teknis yang memadai dalam proses pembangunan menjadi faktor utama terjadinya tragedi ini.
Tentu saja kisah fiktif dalam kumpulan cerpen karya Ali Akbar Navis tidak memiliki kaitan langsung dengan peristiwa runtuhnya musala yang tengah dalam proses pembangunan tersebut. Namun demikian terdapat benang merah yang bisa digariskan pada kedua kisah tersebut. Kerobohon spiritual seorang kakek dalam kisah cerpen digambarkan dengan terlalu terfokus pada ibadah pribadi, hingga melupakan tanggung jawab sosial. Sedangkan robohnya bangunan fisik mushola di pondok pesantren tampaknya mencerminkan kelalaian terhadap aspek teknis yang semestinya diperhatikan secara serius. Dengan demikian dua kisah ini, yang satu simbolik, sementara yang lain nyata, dapat saling melengkapi sebagai cermin untuk merenungkan pentingnya keseimbangan antara spiritualitas, moralitas, dan profesionalisme.
Hari ini, Rabu, 8 Oktober 2025 sebagian besar Profesor dan Doktor Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta berkumpul dalam acara Sarasehan Sains dan Teknologi Yogyakarta (SSTY) yang diselenggarakan oleh LLDikti Wilayah V. Di dalam susunan acara terdapat deklarasi komitmen bertajuk "Riset dan Pengembangan Ilmu" oleh para Profesor dan Doktor PTS sebagai bentuk kesungguhan dalam memperkuat kolaborasi dan kontribusi untuk masa depan riset dan inovasi bangsa. Selain itu terdapat sidang pleno juga digelar untuk membahas empat tema strategis, yakni Ketahanan Pangan dan Kesehatan, Digitalisasi dan Material, Energi dan Hilirisasi, serta Maritim dan Pertahanan, Sarasehan ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi lintas bidang ilmu dalam mendorong percepatan hilirisasi riset dan teknologi ke industri nasional.
Sarasehan ini menjadi cerminan pentingnya kolaborasi lintas disiplin ilmu, khususnya dalam ranah sains dan teknologi, untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Pengabaian terhadap ilmu pengetahuan, baik karena ketidaktahuan maupun rasa percaya diri yang berlebihan, dapat berujung pada konsekuensi yang fatal.
Tragedi robohnya mushola di Pondok Pesantren Al Khoziny harus menjadi pelajaran berharga mengenai urgensi penguasaan ilmu dan teknologi bagi semua lapisan masyarakat. Dalam semangat tersebut, Universitas Amikom Yogyakarta turut berkontribusi dengan mengirimkan dua Profesor dan sembilan Doktor dalam Sarasehan ini. Partisipasi ini merupakan bagian dari komitmen berkelanjutan untuk memastikan bahwa para dosen, khususnya yang telah menyandang gelar akademik tertinggi, terus memperbarui keilmuannya dan memperkuat peran strategisnya dalam mendorong kemajuan bangsa.
Tragedi Al Khoziny dan kisah “Robohnya Surau Kami” sama-sama mengingatkan kita bahwa iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa ilmu dapat menjerumuskan pada kealpaan, sementara ilmu tanpa iman berisiko melahirkan kesombongan. Keduanya harus berjalan seiring agar manusia tidak hanya mampu berdoa demi keselamatan, tetapi juga memiliki pengetahuan untuk mewujudkannya secara nyata. Ayat ke-49 dari Surah Al-Qamar layak menjadi bahan renungan bersama bahwa hukum-hukum Allah yang tertanam dalam alam semesta harus dipelajari dan ditafakuri agar manusia mampu memahami qadar-Nya secara ilmiah sekaligus spiritual. "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)." Wallāhu a‘lam.