Koalisi Luas, Tantangan Demokrasi: Menakar Politik Transaksional di Era Baru

4 hours ago 1

Ilustrasi lambang partai politik.

Oleh : Setiawan Purnomo, Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik pada Indonesia Centris Foundation

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasca Pemilu 2024, Indonesia memasuki babak politik baru. Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka melahirkan koalisi besar yang merangkul hampir semua partai utama. Janji stabilitas politik pun terdengar meyakinkan, tapi di baliknya muncul pertanyaan besar: apakah demokrasi masih punya ruang bernapas? Apakah kekuasaan yang terlalu stabil justru berisiko melahirkan politik transaksional dan melemahkan oposisi?

Koalisi besar tentu memberi keuntungan: pemerintah lebih mudah menyusun kebijakan strategis tanpa hambatan politik berarti. Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan sisi lain dari strategi ini. Koalisi besar kerap berubah menjadi arena kompromi kekuasaan—pembagian jabatan, proyek pembangunan, hingga akses ekonomi untuk kelompok tertentu.

Dengan hampir semua partai berada di kubu pemerintah, fungsi oposisi pun melemah. Parlemen berpotensi menjadi pendukung pasif alih-alih pengawas aktif. Akibatnya, proses check and balance yang mestinya menjaga demokrasi bisa kehilangan taring. Semakin besar koalisi, semakin kecil ruang kritik yang tersisa.

Politik Indonesia terkenal dengan biaya yang tinggi. Dari caleg hingga calon kepala daerah, semuanya membutuhkan dana besar untuk kampanye dan dukungan logistik. Ketika kekuasaan diraih, muncul tekanan untuk “mengembalikan modal” kepada para penyokong—baik pengusaha, jaringan politik, maupun kelompok kepentingan.

Siklus balas budi inilah yang memunculkan politik rente. Keputusan publik sering kali bukan lagi soal kepentingan rakyat, melainkan hasil kompromi antar-elite. Dalam koalisi luas, praktik semacam ini semakin mudah bersembunyi di balik jargon stabilitas. Akibatnya, kebijakan bisa lebih berpihak pada kelompok tertentu ketimbang kebutuhan masyarakat luas.

Koalisi Besar, Demokrasi Tertekan

Secara teori, koalisi besar bertujuan memperkuat sinergi nasional. Namun dalam praktiknya, semakin luas koalisi, semakin kecil ruang perbedaan pendapat. Kritik dianggap tidak konstruktif, sementara diam menjadi pilihan aman. Media, akademisi, dan masyarakat sipil menghadapi tekanan terselubung agar tidak terlalu “mengganggu stabilitas.”

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |