REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Umum DPP Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (DPP Pinsar), Singgih Januratmoko, menegaskan kenaikan harga ayam yang terjadi belakangan ini, tidak berkaitan dengan program Mandiri Bersama Gizi (MBG).
Menurutnya, dinamika harga ayam saat ini merupakan penyesuaian alami dalam perekonomian baru sektor perunggasan nasional, sejalan dengan perubahan biaya produksi yang terjadi di lapangan.
“Kami perlu meluruskan bahwa kondisi harga ayam saat ini merupakan cerminan dari penyesuaian alami dalam perekonomian baru sektor perunggasan nasional, bukan akibat dari program tertentu,” ujar Singgih di Jakarta pada Rabu (8/9/2025).
Dia menjelaskan, Harga Pokok Produksi (HPP) ayam broiler saat ini berada di kisaran Rp19.500–Rp20 ribu per kilogram. Kenaikan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, di antaranya harga DOC (Day Old Chick) ayam pedaging yang kini berada di kisaran Rp7.000–Rp7.500 per ekor, serta harga pakan yang naik menjadi Rp8.000–Rp8.300 per kilogram.
“Dengan struktur biaya tersebut, harga ayam hidup di tingkat peternak sebesar Rp21 ribu–Rp23 ribu per kilogram adalah harga yang wajar dan mencerminkan keseimbangan ekonomi baru di industri perunggasan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Singgih mengutip Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 6 Tahun 2024 tentang Harga Acuan Penjualan (HAP).
Dalam aturan tersebut, batas harga acuan untuk daging ayam di tingkat produsen adalah Rp25.000 per kilogram, sedangkan di tingkat konsumen sebesar Rp40.000 per kilogram.
“Artinya, harga ayam konsumsi di pasaran yang saat ini berada di kisaran Rp36 ribu–Rp37 ribu per kilogram masih dalam batas regulasi yang telah ditentukan dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan),” ujar Singgih.
Dia menegaskan pula bahwa pasokan ayam saat ini sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional, termasuk mendukung kelancaran pelaksanaan program MBG yang selama ini dinilai berperan besar dalam memperkuat gizi masyarakat dan memberdayakan peternak rakyat.
Singgih juga mengingatkan para peternak ayam mengalami tekanan berat selama lima bulan terakhir , karena harga jual ayam sempat berada di bawah HPP dan menyebabkan kerugian signifikan di tingkat produksi.
“Baru dalam satu bulan terakhir harga ayam mulai kembali mendekati HPP, memberi sedikit ruang napas bagi peternak untuk bertahan,” ungkapnya.
Menurutnya, penyesuaian harga yang terjadi saat ini merupakan refleksi dari kondisi ekonomi dan biaya produksi yang nyata, bukan karena kebijakan atau program tertentu.
Dirinya berharap masyarakat memahami penyesuaian harga saat ini adalah refleksi dari kondisi ekonomi dan biaya produksi yang nyata, serta tetap berada dalam koridor kebijakan resmi pemerintah.
“Stabilitas jangka panjang industri perunggasan membutuhkan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan keberlanjutan peternak,” tegas Singgih.
Singgih menyerukan agar semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, terus mendukung terciptanya ekosistem perunggasan yang berkeadilan, sehat, dan berkelanjutan, demi kesejahteraan peternak rakyat dan stabilitas pangan nasional.