Oleh : Dr. Deden Mauli Darajat, M.Sc. Dosen Pascasarjana Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Khoziny beberapa waktu lalu menjadi duka mendalam bagi keluarga besar dunia pendidikan Islam di Indonesia.
Sebuah insiden yang merenggut nyawa santri seolah membuka luka sosial dan psikologis yang tidak hanya dirasakan oleh satu lembaga, tetapi oleh seluruh pesantren di Tanah Air. Namun, di balik duka yang menyesakkan itu, kita perlu merenung — bahwa sebuah peristiwa tragis tidak dapat dan tidak boleh menghapus nilai, jasa, serta kontribusi besar pesantren bagi bangsa ini.
Menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025, momen ini seharusnya tidak hanya menjadi seremoni, tetapi menjadi ruang refleksi kolektif — tentang bagaimana pesantren, dengan segala kekuatan dan keterbatasannya, telah berabad-abad menjadi benteng moral, penjaga akidah, sekaligus motor kemerdekaan dan peradaban bangsa Indonesia.
Pesantren adalah lembaga yang telah hadir jauh sebelum republik ini berdiri. Dalam catatan sejarah, pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga pusat pergerakan sosial, budaya, ekonomi, dan politik kebangsaan. Dari rahim pesantren lahir para ulama pejuang seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan ribuan tokoh lain yang mengorbankan pikiran, tenaga, bahkan jiwa untuk kemerdekaan bangsa. Maka ketika hari ini pesantren diuji oleh berbagai persoalan, baik internal maupun eksternal, semestinya kita menanggapinya bukan dengan kecurigaan atau sinisme, melainkan dengan semangat introspeksi dan optimisme.
Dalam konteks pembangunan manusia Indonesia, pesantren memiliki posisi yang unik. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga institusi pembentuk moral dan akhlak. Di pesantren, ilmu dan adab berjalan beriringan. Santri diajarkan bukan hanya bagaimana membaca kitab, tetapi juga bagaimana menghormati guru, menjaga kebersihan hati, dan hidup dalam kesederhanaan.
Nilai-nilai seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, dan mandiri adalah modal sosial yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Ketika banyak lembaga pendidikan modern terjebak dalam orientasi kognitif dan kompetitif, pesantren tetap konsisten mendidik manusia secara holistik: berilmu sekaligus berakhlak. Karena itu, pesantren adalah benteng terakhir pendidikan karakter bangsa.