Jihad Politik ala PKS

3 hours ago 1

Image Salsabiil Firdaus

Politik | 2025-10-19 11:19:29

Foto: Aksi Bela Palestina PKS di Jakarta (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Di tengah politik Indonesia yang kian pragmatis dan kehilangan arah moral, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sering tampil sebagai partai yang berbeda. PKS tak memandang politik hanya sebagai ruang rebutan kursi atau transaksi kepentingan, tetapi sebagai bagian dari jihad, perjuangan nilai dan dakwah dalam ruang kekuasaan. Inilah yang saya sebut sebagai jihad politik ala PKS, yakni pandangan bahwa berpolitik adalah bagian dari ibadah sosial, jalan untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam tata kelola negara. Namun, di balik semangat nan ideal itu, jihad politik PKS juga menyimpan paradoks, antara dakwah dan demokrasi, antara nilai dan kompromi, antara suara dan syariat.

PKS sendiri lahir dari rahim gerakan Tarbiyah, sebuah gerakan dakwah kampus yang semula bergerak di ruang spiritual dan pendidikan. Dari masjid kampus, mereka kemudian melangkah ke panggung politik nasional. Transformasi ini bukan tanpa risiko. Di satu sisi, PKS membawa modal moral yang langka di dunia politik, yakni nilai kedisiplinan, keikhlasan, dan semangat dakwah. Tapi di sisi lain, PKS juga harus belajar menari di atas panggung demokrasi yang sarat dengan kompromi, lobi, dan strategi elektoral. Di sinilah letak ujian jihad politik PKS, yaitu bagaimana menjaga kemurnian dakwah dalam lumpur kekuasaan yang kotor.

Dalam buku Dilema PKS: Antara Suara dan Syariat, tergambar jelas bagaimana PKS terus bergulat dengan kontradiksi internalnya. Sebagai partai dakwah, PKS ingin menegakkan nilai-nilai Islam dalam politik. Tapi sebagai partai peserta pemilu, mereka dituntut bermain dengan logika suara, elektabilitas, dan citra publik. Akibatnya, PKS sering terjebak dalam posisi serba salah, terlalu ideologis dianggap kaku, terlalu kompromistis juga dianggap kehilangan jati diri. Dilema ini tak hanya ideologis, tapi eksistensial, apakah jihad politik bisa tetap murni dalam sistem yang tak netral terhadap nilai?

PKS mencoba menjawabnya dengan narasi politik kebangsaan. Mereka menegaskan bahwa perjuangan politiknya tetap dalam bingkai Pancasila dan NKRI, sambil membawa semangat Islam sebagai etika publik. Namun, dalam praktiknya, posisi ini seringkali tampak ambigu. Beberapa pengamat, seperti dalam sebuah artikel berjudul Dasar Negara dan Taqiyyah Politik PKS melihat bahwa PKS kadang memainkan strategi ganda dengan tampil moderat di luar, tapi tetap mempertahankan agenda syariah di dalam. Strategi ini mungkin efektif secara taktis, tapi berisiko secara moral. Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa label dakwah politik dijalankan bukan dengan keteladanan, melainkan dengan perhitungan citra.

Di sisi lain, saya melihat jihad politik ala PKS sejatinya punya potensi besar untuk memulihkan etika dalam demokrasi. Dalam sistem politik yang sarat pragmatisme dan korupsi, kehadiran partai dengan basis nilai dapat menjadi penyegar moral. Apalagi dengan motto PKS yakni Bersih, Peduli, dan Profesional sangat mencerminkan wajah dakwah politik dalam perpolitikan di Indonesia. Kaderisasi yang ketat, semangat pelayanan, dan disiplin organisasi menunjukkan bahwa PKS tak hanya bicara nilai, tapi juga menghidupkannya dalam praksis politik. Mereka menunjukkan bahwa politik bisa dijalankan dengan idealisme, bahwa kekuasaan bisa menjadi alat dakwah. Namun, idealisme tanpa refleksi justru bisa menjadi jebakan baru, yakni merasa paling benar, paling suci, dan akhirnya menutup ruang dialog dengan pihak lain.

Masalahnya, jihad politik PKS sering kali berhenti pada tataran simbol dan retorika. Di ruang publik, jargon seperti partai dakwah memang terdengar bagus dan idealis, tapi apakah ia benar-benar terwujud dalam kebijakan publik dan perilaku kader di lapangan? Kasus-kasus korupsi yang sempat menjerat sebagian kadernya menjadi pukulan keras bagi citra moral PKS sendiri. Di sinilah saya merasa, jihad politik bukan lagi tentang mengusung slogan religius, melainkan tentang menjaga integritas saat tak ada yang melihat. Jihad politik bukan hanya di ruang-ruang kampanye, tetapi juga dalam membela kemaslahatan rakyat Indonesia melalui kebijakan.

Jika PKS benar-benar ingin menjadikan politik sebagai ladang dakwah, maka dakwah itu harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan elemen rakyat Indonesia, bukan hanya oleh umat Islam yang sesuai dengan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya, jihad politik harus bergeser dari agenda simbolik menuju agenda substantif dengan memperjuangkan keadilan sosial, membela rakyat miskin, memperkuat transparansi, dan melawan oligarki. Islam bukan hanya tentang moral individu saja, tetapi juga menyangkut etika publik. Ketika nilai-nilai Islam diterjemahkan dalam kebijakan yang menyejahterakan rakyat tanpa diskriminasi, barulah jihad politik menemukan maknanya yang sejati.

Saya percaya, jihad politik seharusnya bukanlah hanya sekedar perjuangan dalam menegakkan supremasi identitas saja, melainkan supremasi nilai. Ketika PKS berbicara tentang dakwah siyasah, mestinya tidak hanya memaknai dakwah sebagai proses Islamisasi negara, tapi sebagai proses moralisasi dalam berpolitik dan bernegara. Negara tidak perlu diubah menjadi negara Islam secara simbolik jika para pejabat dan sistemnya sudah bekerja dengan nilai-nilai syariah, yakni nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi dakwah politik PKS saat ini.

Jihad politik, pada akhirnya, bukan soal siapa yang menang di pemilu, tapi siapa yang menang melawan dirinya sendiri, yakni melawan nafsu kekuasaan ataupun melawan kompromi yang mencederai nilai. Jika PKS mampu menjaga semangat jihad politik sebagai perjuangan moral, bukan sebatas agenda identitas dan branding saja, maka PKS bisa menjadi pelopor politik nilai di tengah demokrasi Indonesia yang kehilangan etika. Tapi jika jihad politik hanya jadi slogan yang membungkus ambisi kekuasaan, maka perjuangan dakwah itu akan kehilangan ruhnya sendiri.

Saya melihat, politik kebangsaan yang dijalankan PKS masih berada di persimpangan antara menjadi gerakan moral yang menuntun bangsa Indonesia, atau sekadar mesin elektoral yang mengatasnamakan dakwah. Masa depan jihad politik PKS bergantung pada pilihan itu. Apakah mereka berani memaknai jihad bukan sebagai perebutan pengaruh, tetapi sebagai perjuangan sunyi untuk menegakkan keadilan di tengah sistem yang bengkok? Jika iya, maka jihad politik ala PKS bisa menjadi babak baru bagi politik Indonesia yang lebih bermoral dan berkeadaban. Jika tidak, ide itu hanyalah akan menjadi fragmen sejarah, kisah tentang partai dakwah yang tersesat di lorong kekuasaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |