REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga beras kembali menjadi penyelamat stabilitas harga pangan nasional. Memasuki Oktober 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, komoditas beras kembali mengalami deflasi, melanjutkan penurunan harga yang telah terjadi pada September. Meski inflasi umum berada di angka 0,28 persen, beras justru bergerak berlawanan arah.
“Terjadi deflasi beras pada Oktober 2025 lebih dalam dibandingkan dengan bulan sebelumnya,” ujar Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini. Ini menegaskan, penurunan harga tidak hanya berlanjut, tetapi semakin menguat.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Dari sisi historis, pola ini terbilang istimewa. “Dalam lima tahun terakhir, beras mengalami inflasi pada Oktober 2022 dan 2023. Sementara pada Oktober 2021, 2024, dan 2025 mengalami deflasi,” kata Pudji. Ini menunjukkan, Oktober 2025 adalah periode ketika stabilitas pangan benar-benar terjaga, dengan beras berperan sebagai peredam utama inflasi.
Dari seluruh provinsi di Indonesia, 23 provinsi mengalami deflasi beras, tiga provinsi stabil, dan hanya 12 provinsi yang mencatat inflasi—komposisi yang menunjukkan penurunan harga berlangsung luas di berbagai wilayah.
Yang paling menonjol, fakta bahwa harga beras turun serentak di seluruh segmen pasar. Di tingkat penggilingan, harga beras turun rata-rata 0,54 persen; dengan penurunan 0,71 persen pada beras premium dan 0,46 persen pada beras medium.
Di tingkat grosir, harga turun 0,18 persen, dan di tingkat eceran terjadi deflasi 0,27 persen. Penurunan kompak dari hulu hingga hilir ini jarang terjadi pada periode-periode sebelumnya, karena pergerakan harga biasanya tidak seragam.
Kondisi ini menunjukkan, stabilisasi pasokan, distribusi, dan kebijakan intervensi pemerintah sedang berada pada efektivitas optimal. Jika dibandingkan Oktober 2024, perbedaannya sangat terasa.
Pada tahun itu, harga beras di tingkat eceran masih berada di sekitar Rp 14.643 per kilogram dengan inflasi tahunan mencapai 3,08 persen. Harga grosir berada di kisaran Rp 13.563 per kilogram dan harga penggilingan sekitar Rp 12.724 per kilogram.
Dengan kondisi ini, pasar beras pada 2024 masih dalam tekanan. Namun pada Oktober 2025, tren berubah total: harga turun di semua level secara bersamaan. Selain beras, komoditas pangan lain seperti bawang merah, cabai rawit, dan tomat turut menekan inflasi.
Tetapi kontribusi beras tetap yang paling menentukan mengingat bobotnya yang besar dalam pengeluaran rumah tangga. Tak heran bila deflasi beras dua bulan beruntun menjadi salah satu indikator paling penting dalam menjaga daya beli masyarakat.
Menanggapi kondisi ini, Menteri Pertanian yang sekaligus menjabat Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Andi Amran Sulaiman, menegaskan capaian tersebut merupakan hasil kerja bersama lintas sektor.
“Tujuan kita menurunkan harga supaya masyarakat bahagia, dan itu sudah tercapai,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Selasa (4/11/2025).
Dalam kapasitas ganda sebagai Mentan dan Kepala Bapanas, Amran memimpin langsung pembentukan tim pengawal harga yang terdiri dari Kementan, Bappenas, Bulog, serta aparat penegak hukum.
Tim ini bertugas memastikan stabilitas harga sampai tingkat kabupaten, termasuk menjalankan operasi pasar dan distribusi beras SPHP ke daerah-daerah pegunungan yang bukan sentra produksi.
Dibandingkan Oktober 2024, penurunan harga beras pada Oktober 2025 mencerminkan perubahan struktural yang kuat: pasar lebih terkendali, pasokan lebih stabil, dan dampak kebijakan lebih cepat terasa.
Bagi Amran, keberhasilan ini adalah kerja kolektif seluruh elemen bangsa—dari Presiden dan petani, hingga media yang terus mengawal dinamika pangan nasional.
Dengan harga beras yang turun di semua segmen dan deflasi yang terjadi dua bulan berturut-turut, Indonesia menutup Oktober 2025 dengan tanda positif bagi stabilitas pangan dan daya beli rakyat.
.png)
                        7 hours ago
                                4
                    








































