Ekonomi Indonesia di 2025 masih dibayangi oleh berbagai risiko dan tantangan di dalam negeri.
Ekonomi Indonesia Masih Dibayangi Risiko Domestik (FOTO:MNC Media)
IDXChannel - Ekonomi Indonesia di 2025 masih dibayangi oleh berbagai risiko dan tantangan di dalam negeri. Antara lain seperti lemahnya daya beli hingga kebijakan Pemerintah yang membebani masyarakat.
Tercatat ada beberapa hal yang akan mengalami perubahan harga karena kenaikan maupun perubahan kebijakan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen khususnya untuk barang mewah, penambahan Objek Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan harga gas Elpiji, hingga potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Ekonom BCA, David Sumual menyoroti pergeseran struktur tenaga kerja di Indonesia yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Menurutnya, kondisi saat ini menunjukkan adanya peralihan pekerja formal ke sektor informal, yang sebagian besar disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Fenomena ini diperburuk dengan stagnasi sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti industri tekstil, yang kini semakin tergantikan oleh sektor padat modal, seperti pertambangan," ujarnya di Jakarta Minggu (2/2/2025).
Akibatnya, penciptaan lapangan kerja menjadi semakin sulit, yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat.
Untuk mengatasi hal ini, Ia berharap pemerintah dapat lebih memfokuskan kebijakan dan investasi ke sektor padat karya. Dengan memberikan perhatian lebih pada industri yang banyak menyerap tenaga kerja, peluang kerja dapat meningkat, sehingga masyarakat memiliki penghasilan yang lebih stabil. Langkah ini tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperkuat daya beli secara keseluruhan.
"Pemerintah dapat memfokuskan ke sektor sektor labor intensive, seperti dengan memberikan investasi ke sektor tersebut," ujarnya.
Terkait kebijakan perpajakan, kenaikan pajak memang berpotensi mempengaruhi daya beli. Namun, menurut David Sumual, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen lebih banyak ditujukan pada barang mewah, sehingga dampaknya terhadap masyarakat luas relatif terbatas.
Selain itu, opsen pajak juga tidak terlalu signifikan dalam mengubah nilai akhir yang harus dibayarkan oleh masyarakat. "Pajak yang meningkat akan berdampak pada daya beli, tapi sejauh ini PPN 12 persen akhirnya untuk barang mewah, opsen tidak terlalu banyak mengubah nilai akhir yang harus dibayar," kata dia.
Di sisi lain, skema iuran BPJS Kesehatan yang baru, termasuk skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), masih belum sepenuhnya jelas apakah akan mengalami kenaikan atau tidak. Di sisi lain, fokus pemerintah saat ini lebih mengarah pada peningkatan konsumsi masyarakat.
Berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang lebih condong ke investasi, kebijakan saat ini lebih menitikberatkan pada penguatan daya beli dalam jangka pendek hingga menengah. Salah satu contohnya adalah program bantuan langsung, seperti bantuan sosial dan insentif konsumsi, yang dapat membantu mendorong belanja masyarakat.
Jika nantinya ada kenaikan iuran dalam skema kelas BPJS Kesehatan yang baru, dampaknya terhadap daya beli belum tentu signifikan. Namun, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia adalah investasi asing.
Menurut David Sumual, sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia bukan hanya karena faktor ekonomi global, tetapi juga akibat kebijakan yang sering berubah serta birokrasi yang masih dianggap rumit. Hal ini membuat banyak investor memilih untuk beralih ke negara lain, seperti Vietnam, yang dianggap lebih stabil dan efisien dalam regulasi investasi.
"Fokus pemerintah saat ini lebih ke konsumsi masyarakat. Sementara, pemerintahan sebelumnya lebih ke investasi, seperti makan bergizi gratis (MBG) , yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli dalam jangka pendek-menengah," kata dia.
Di sisi lain, pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) menjadi 5,75 persen menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga, terutama di kelompok menengah ke bawah.
Langkah ini dianggap sebagai kebijakan yang bersifat "preemptive" dan "forward-looking," dengan mempertimbangkan rendahnya inflasi serta stabilitas Rupiah yang masih cukup terjaga.
Namun, ia mengakui bahwa dampak kebijakan moneter memiliki time lag, sehingga kenaikan konsumsi bergantung pada efektivitas penurunan suku bunga dalam mendorong kredit konsumsi dan meningkatkan likuiditas rumah tangga. "Kenaikan konsumsi akan tergantung pada sejauh mana penurunan suku bunga diterjemahkan menjadi kredit konsumsi yang lebih murah dan peningkatan likuiditas bagi rumah tangga," kata dia.
Penurunan suku bunga juga memiliki potensi untuk mendorong investasi swasta dengan menurunnya biaya pembiayaan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sentimen pasar dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas Rupiah, dan inflasi.
Dengan kebijakan ini, BI berupaya mengelola depresiasi Rupiah agar tetap terkendali sehingga aset lokal tetap menarik bagi investor asing. Namun, ketidakpastian global dan potensi pelebaran defisit neraca berjalan harus dikelola dengan baik untuk mempertahankan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
"Ketidakpastian global dan risiko pada neraca berjalan yang melebar perlu dikelola dengan baik agar investor swasta tetap percaya diri," tandasnya.
Sementara menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, pergerakan suku bunga pinjaman konsumsi dan investasi cenderung memiliki volatilitas yang lebih kecil dibandingkan suku bunga acuan.
Dengan demikian, penurunan suku bunga oleh BI tidak serta-merta diikuti oleh perbankan dalam menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini menyebabkan adanya jeda waktu atau delay dalam transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
"Konsekuensinya apa? Pada waktu BI nurunin suku bunga, saya melihat ada delay untuk penurunan suku bunga pinjaman dan sebagainya," kata Tauhid.
Selain itu, Tauhid menjelaskan bahwa efek dari kebijakan pemangkasan suku bunga ini baru akan terasa dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Mengingat penurunannya hanya sebesar 25 basis poin, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar masih terbatas.
(kunthi fahmar sandy)