Dari Seoul ke Depok: Zihan dan Cahaya Belajar dari Negeri Ginseng

7 hours ago 1
 Dok Diskominfo Kota Depok) Zihan Ika Priana, guru SMPN 34 Depok, yang membawa pulang seberkas cahaya dari negeri yang berjarak ribuan kilometer: Korea Selatan. (Foto: Dok Diskominfo Kota Depok)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di Depok ada banyak wanita yang berprofesi sebagai guru di semua jenjang pendidikan, baik SD, SMP, maupun SMA, di sekolah negeri maupun swasta.

Dan setiap tahunnya akan selalu ada lebih banyak wanita yang mengejar mimpinya menjadi guru.

Bagi mereka yang bercita-cita menjadi guru, profesi itu bukan sekadar pekerjaan. Guru adalah panggilan hati.

Mereka adalah perempuan-perempuan yang tak hanya mengajar huruf dan angka, tetapi juga menanamkan nilai, kesabaran, dan kasih di ruang-ruang kelas.

Baca juga: Baru Diluncurkan, Desain Minimalis Casio G-SHOCK Lini G-STEEL Lebih Nyaman Dipakai

Mereka datang dengan berbagai cerita: ada yang meninggalkan anaknya di rumah demi mengajar anak orang lain, ada yang menyiapkan rencana mengajarnya di sela waktu mencuci piring, dan ada pula yang tetap menulis catatan pelajaran meski hujan turun deras dan motor tuanya mogok di jalan.

Setiap pagi buta mereka berangkat dari rumahnya masing-masing agar tak telat tiba di sekolah tempat mereka mengajar. Ada yang mengendarai motor tua yang setia menemani, ada yang naik angkot sambil berdesakan dengan penumpang lain, dan ada pula yang diantar oleh suami mereka sekalian berangkat kerja bersama karena arah jalan yang sama.

Mereka semua bergerak dalam irama yang hampir serupa: terburu waktu, berjuang dengan semangat yang sama, meski nasib dan kesempatan tak selalu berpihak sama.

Namun di antara ratusan guru itu, ada satu nama yang kisahnya melangkah sedikit lebih jauh, Zihan Ika Priana, guru SMPN 34 Depok, yang membawa pulang seberkas cahaya dari negeri yang berjarak ribuan kilometer: Korea Selatan.

Baca juga: Langen Matanya Bedhayan Gamdrungmanis, Reaktualisasi Tari Berdasarkan Naskah Kuno

Zihan baru saja menuntaskan program internasional Korean e-Learning Improvement Cooperation (KLIC), sebuah pelatihan yang mempertemukannya dengan sistem pendidikan yang jauh lebih maju, disiplin, dan berkarakter.

Di sana, ia menyaksikan bagaimana teknologi digunakan bukan untuk menggantikan guru, tetapi untuk memperkuat hubungan antara guru dan murid. Ia belajar bahwa salam, sapaan, dan rasa hormat kepada guru adalah bagian tak terpisahkan dari pembentukan karakter, sesuatu yang kadang mulai luntur di ruang-ruang kelas hari ini.

Kini, dari Depok, Zihan mencoba menanamkan kembali nilai-nilai itu. Ia tak membawa oleh-oleh berupa suvenir, melainkan keyakinan baru: bahwa pendidikan bisa lebih hangat, lebih manusiawi, dan tetap sejalan dengan kemajuan teknologi.

“Banyak hal yang bisa diadaptasi dari Korea Selatan,” ujarnya lembut, seolah menimbang setiap kenangan yang ia bawa pulang.

“Mulai dari budaya disiplin, ketepatan waktu, hingga pembiasaan salam, sapaan, dan sikap hormat kepada guru. Itu bukan basa-basi, tapi latihan karakter.”

Pernyataannya itu bukan sekadar kisah nostalgia dari perjalanan dinas.

“Selain itu, penggunaan teknologi pembelajaran secara aktif melalui digital platform atau interactive learning, serta membiasakan salam, sapaan, dan sikap hormat kepada guru sebagai bentuk penanaman karakter.

Baca juga: Presiden Pabowo Apresiasi Upaya Polri Cegah Peredaran Narkoba

Kami juga akan mengembangkan kegiatan berbasis proyek kecil (project-based learning) untuk melatih kreativitas dan kerja sama siswa,” ujar Zihan seperti dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Depok, Rabu (29/10/2025).

Dari sanalah pijakan itu tumbuh. Ia tak hanya pulang dengan sertifikat pelatihan, tapi membawa semangat baru bahwa masa depan pendidikan tidak hanya tentang alat dan sistem, tapi tentang hati yang menyalakan keduanya.

Teknologi yang Menyentuh Hati

Zihan tahu betul bahwa teknologi bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang.

Jika digunakan dengan tepat, ia menghubungkan siswa dengan dunia. Tapi jika salah arah, ia bisa memisahkan anak dari nilai-nilai kemanusiaan.

Karena itu, ia memilih untuk mempertemukan keduanya, layar dan laku.

Baca juga: Catatan Cak AT: Beton, Baja, dan Balok yang Tobat

Di kelasnya, interactive learning bukan sekadar tentang video atau aplikasi, tetapi tentang bagaimana anak-anak belajar menghargai pendapat temannya, bagaimana mereka bekerja sama menyelesaikan tugas, dan bagaimana mereka belajar meminta maaf jika salah.

“Kalau di Korea, pembelajaran itu terasa seperti napas,” katanya suatu sore di ruang guru. “Tidak ada yang diburu-buru, tapi semua teratur dan serius. Anak-anak terbiasa menghormati proses, bukan sekadar hasil.”

Ia ingin atmosfer itu hadir juga di Depok. Melalui pendekatan project-based learning, Zihan berharap siswanya tak hanya pandai menghafal teori, tapi juga cakap menyusun ide dan menyelesaikan masalah.

Ia tahu, tantangan zaman ini tak lagi diukur dari seberapa cepat anak menjawab ujian, melainkan seberapa kuat mereka memahami kehidupan.

Baca juga: UI Berdayakan Masyarakat Pulau Harapan Manfaatkan Alga Laut sebagai Obat Alam

Dari Guru ke Gerakan

Zihan tidak ingin berjalan sendiri. Bersama rekan-rekannya, ia tengah merancang kegiatan diseminasi hasil program KLIC, agar semangat inovasi bisa menular ke guru-guru lain di SMPN 34 Depok bahkan mungkin ke sekolah lain di sekitarnya.

“Rencananya kami akan mengadakan kegiatan berbagi ilmu hasil pelatihan,” ujarnya. “Tapi jadwalnya masih dalam tahap pembahasan.”

Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan keyakinan bahwa sesuatu sedang tumbuh.

Selain membawa inspirasi baru, Zihan berharap hasil dari program KLIC dapat memperkuat kerja sama antara sekolah di Indonesia dan Korea Selatan, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengembangan digital learning.

Ia menutup dengan harapan agar SMPN 34 Depok dapat menjadi salah satu sekolah percontohan dalam penerapan teknologi pembelajaran, sekaligus menanamkan nilai karakter dan kedisiplinan pada peserta didik.

Baca juga: Tinjau SPBU di Jawa Timur, Direktur Pertamina Patra Niaga dan Dirjen Migas Tegaskan Komitmen Layani Keluhan Konsumen

Refleksi: Cahaya dari Negeri Jauh

Seoul dan Depok mungkin berbeda dalam banyak hal, musim, bahasa, wajah-wajah di jalan. Tapi semangat guru di mana pun selalu sama. Mereka berdiri di depan anak-anak bangsa, menyalakan api kecil agar dunia tidak gelap.

Zihan adalah salah satunya. Ia tidak bicara tentang revolusi, tidak berteriak soal reformasi pendidikan, tapi bekerja dalam diam. Ia hadir setiap pagi, membuka kelasnya, menyapa murid-muridnya dengan senyum.

Di matanya, masa depan bukan sesuatu yang datang dari langit, tapi sesuatu yang harus disemai setiap hari di ruang kelas dengan sabar, dengan cinta, dan dengan ketulusan yang nyaris tak pernah dihitung.

Mungkin benar, tak semua guru di Depok seberuntung Zihan. Tak semua punya kesempatan menjejakkan kaki di negeri ginseng dan membawa pulang inspirasi.

Tapi di setiap guru, selalu ada percikan kecil yang sama, keyakinan bahwa belajar bukan sekadar mengajar, tapi membangun peradaban dari hal-hal paling sederhana.

Baca juga: Disdik Depok Dorong Sekolah Cetak Siswa Kreatif, Berani dan Berakhlak Mulia

Dan dari ruang kelas di SMPN 34 Depok itu, percikan kecil itu kini menyala pelan. Mungkin sinarnya belum terang, tapi setiap cahaya selalu bermula dari satu nyala. Zihan telah menyalakan bagiannya. Selebihnya, mungkin giliran kita untuk menjaga agar cahaya itu tak pernah padam.

Pendidikan adalah perjalanan panjang, bukan lomba cepat. Ia hidup di antara guru yang berangkat pagi buta, membawa harapan di antara debu jalanan dan suara bel sekolah.

Dan di antara mereka, ada yang pulang membawa cahaya seperti Zihan, dari Seoul ke Depok, dari mimpi ke kenyataan. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |