Dari Lahan ke Meja Perundingan: Dinamika Negosiasi Agribisnis Petani Organik

3 hours ago 1

Image Nayla Alifah

Bisnis | 2025-10-07 13:40:53

Sumber: PNGTree (id.pngtree.com)

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan sehat dan berkelanjutan, agribisnis sayuran organik menjadi salah satu sektor yang terus bertumbuh. Namun, di balik pertumbuhan itu, terdapat dinamika sosial, ekonomi, dan psikologis yang tidak sederhana. Salah satu contoh menarik hadir dari kemitraan Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB) dengan petani sayuran organik di Desa Tugu, Cisarua, Bogor. Kasus ini bukan hanya soal produksi pangan, melainkan juga bagaimana negosiasi dan advokasi membentuk pola kemitraan yang berkeadilan.

Untuk memahami praktik kemitraan tersebut, kita dapat menggunakan kacamata Behavioral Negotiation Theory (BNT). Teori ini menekankan bahwa negosiasi bukan sekadar pertukaran rasional antara dua pihak, tetapi juga dipengaruhi oleh persepsi, emosi, bias kognitif, serta dinamika sosial. Dengan kata lain, keberhasilan kemitraan agribisnis tidak hanya ditentukan oleh harga atau kontrak, tetapi juga oleh cara kedua belah pihak membangun kepercayaan, empati, dan komitmen.

Kemitraan di Desa Tugu: Antara Harapan dan Realita

YBSB sejak awal berdiri memiliki visi mendampingi petani kecil agar dapat meningkatkan kapasitas dan pendapatan melalui pertanian organik. Di Desa Tugu, Cisarua, program ini diwujudkan dengan pendampingan teknis, penyediaan akses pasar, serta advokasi kebijakan agar produk petani memiliki daya saing.

Bagi petani, kemitraan ini memberi harapan besar pada kepastian pasar, peningkatan harga jual, dan identitas baru sebagai produsen pangan sehat. Namun di sisi lain, tantangan tetap muncul. Tidak semua petani siap dengan standar organik yang ketat, biaya produksi relatif lebih tinggi, dan proses sertifikasi membutuhkan waktu serta komitmen.

Inilah titik krusial di mana negosiasi terjadi. YBSB harus menyeimbangkan kepentingan lembaga (agar program berjalan berkelanjutan) dengan kualitas terjamin dan realitas petani (yang membutuhkan hasil cepat). Petani pun berada dalam posisi tawar yang unik, mereka memegang lahan dan tenaga, tetapi juga rentan karena ketergantungan pada pasar (harga dan biaya produksi) yang dikelola mitra.

Behavioral Negotiation Theory: Kunci Membaca Dinamika Kemitraan

Teori Behavioral Negotiation memberi kita tiga kacamata utama untuk membaca kasus ini:

  1. Persepsi dan framingCara sebuah isu dikemas akan memengaruhi respon negosiator. Bagi YBSB, pertanian organik dibingkai sebagai misi sosial-ekologis. Bagi petani, ini dibingkai sebagai peluang ekonomi. Ketika framing ini tidak disinkronkan, potensi konflik meningkat.
  2. Bias kognitif dan emosiNegosiasi tidak netral. Petani bisa merasa curiga ketika harga jual ditentukan lembaga, meski niatnya baik. Sementara YBSB bisa mengalami “overconfidence bias”, meyakini strategi mereka paling tepat tanpa cukup mendengar aspirasi petani. Mengelola emosi dari rasa takut rugi hingga harapan berlebih menjadi faktor penentu.
  3. Relasi dan kepercayaanNegosiasi agribisnis berbasis komunitas tidak bisa dilihat sebagai transaksi jangka pendek. Ia memerlukan trust building. Kepercayaan ini tumbuh melalui komunikasi transparan, konsistensi janji, serta ruang partisipasi yang nyata bagi petani dalam mengambil keputusan.

Advokasi: Dari Negosiasi Meja ke Negosiasi Kebijakan

Kemitraan YBSB dan petani organik tidak berhenti di level komunitas. Isu yang mereka hadapi yaitu akses pasar, harga yang adil, sertifikasi organik yang juga merupakan persoalan kebijakan. Di sinilah advokasi masuk sebagai kelanjutan dari negosiasi.

Advokasi yang efektif membutuhkan strategi multi-level:

  • Di tingkat komunitas, memperkuat posisi tawar petani melalui koperasi atau kelompok tani.
  • Di tingkat pasar, mengedukasi konsumen agar menghargai produk organik, bukan sekadar melihat harga.
  • Di tingkat kebijakan, mendorong pemerintah daerah memberi insentif bagi petani organik, misalnya subsidi pupuk organik atau dukungan sertifikasi.

Dengan begitu, negosiasi tidak lagi sekadar “berhadapan” antara petani dan lembaga, tetapi menjadi proses “berdampingan” untuk memperjuangkan kebijakan yang lebih berpihak.

Pelajaran untuk Negosiasi Agribisnis di Indonesia

Dari kasus Desa Tugu, ada beberapa pelajaran penting:

  1. Negosiasi bukan zero-sum game. YBSB dan petani tidak boleh melihat kemitraan sebagai siapa untung-siapa rugi. Behavioral negotiation menunjukkan bahwa dengan memahami persepsi dan emosi masing-masing pihak, bisa tercapai solusi win-win.
  2. Kekuatan narasi sangat menentukan. Jika pertanian organik hanya dipersepsikan sebagai proyek lembaga, petani akan merasa “objek”. Tetapi jika dipahami sebagai identitas bersama untuk keberlanjutan pangan, maka komitmen tumbuh lebih kuat.
  3. Advokasi memperluas ruang negosiasi. Negosiasi internal antara petani dan YBSB hanya satu tahap. Keberlanjutan usaha bergantung pada advokasi kebijakan dan dukungan pasar yang lebih luas.

Penutup: Negosiasi yang Memanusiakan

Kasus YBSB dan petani organik di Desa Tugu memberi gambaran bahwa agribisnis bukan sekadar urusan produksi dan distribusi. Ia juga merupakan arena negosiasi, bukan hanya soal harga, tetapi juga soal nilai, kepercayaan, dan keberlanjutan. Petani butuh kepastian harga, sedangkan YBSB ingin kualitas tetap sesuai standar sertifikasi sehingga YBSB bantu sertifikasi dan petani jaga kualitas. Petani merasa dihargai bila diajak bicara dalam forum, YBSB mendapat legitimasi ketika harga terbuka. Negosiasi jadi bukan sekadar kontrak, tapi relasi yang dipelihara. Dari sini lahirlah win-win.

sumber: vocal.media

Behavioral Negotiation Theory mengingatkan kita bahwa faktor psikologis, persepsi, dan relasi sosial sering lebih menentukan hasil negosiasi dibanding sekadar angka-angka rasional. Kemitraan yang berhasil adalah kemitraan yang memanusiakan, di mana petani tidak sekadar dianggap sebagai produsen, melainkan mitra sejati dalam membangun sistem pangan sehat dan berkeadilan.

Di tengah krisis pangan global dan tantangan perubahan iklim, model kemitraan berbasis negosiasi yang berkeadilan ini layak menjadi inspirasi bagi agribisnis Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |