JAKARTA – Pemerintah Indonesia menetapkan tarif PPN single rate sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025. Namun dengan pengecualian untuk barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, pendidikan, dan kesehatan, yang dibebaskan dari PPN (0 persen). Kebijakan kenaikan tarif PPN ini disesuaikan dengan kebutuhan fiskal dan pembangunan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
“Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ujarnya.
Sementara itu, negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam menerapkan sistem PPN yang berbeda dengan Indonesia dengan menetapkan tarif PPN standar sebesar 10 persen dan saat ini dikurangi menjadi 8 persen untuk barang tertentu hingga Juni 2025.
Selain itu, tarif PPN 5 persen berlaku untuk barang dan jasa esensial seperti air bersih, bahan makanan, pakan ternak, dan perumahan rakyat, sementara tarif 0 persen diterapkan untuk ekspor. Kebijakan tarif PPN ini guna mendorong daya beli masyarakat, meningkatkan stabilitas ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja.
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, menanggapi perihal perbedaan sistem penerapan pajak di Indonesia dan Vietnam yang mempengaruhi sektor UMKM.
Ia menyatakan bahwa Indonesia memiliki batasan omzet pengusaha wajib PPN (PKP) yang jauh lebih tinggi, yaitu Rp4,8 miliar per tahun dibandingkan Rp63 juta di Vietnam. Transparansi dalam fasilitas perpajakan juga lebih terlihat di Indonesia, dengan nilai insentif PPN dipublikasikan mencapai Rp265,6 triliun pada 2025.
“Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia, dengan ambang batas Rp4,8 miliar untuk pengusaha kecil sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki ambang batas jauh lebih rendah, yaitu Rp63 juta,” ujarnya saat diwawancarai secara eksklusif oleh iNews Media Group, Senin (23/12)
Ia menyebut, Indonesia membebaskan PPN untuk pengusaha kecil dengan omzet tahunan hingga Rp4,8 miliar, sehingga UMKM dapat mengalokasikan sumber daya untuk pengembangan usaha tanpa beban pajak langsung.
“Sementara, Vietnam menetapkan ambang batas yang sangat rendah, yang berpotensi membebani usaha kecil dengan kewajiban administratif dan fiskal lebih besar, meskipun tarif PPN standar Vietnam lebih rendah pada 10 persen (dikurangi sementara menjadi 8 persen hingga 2025),” tuturnya.
Dengan ambang batas tinggi, lanjutnya, Indonesia mengurangi beban administratif untuk usaha kecil dan fokus pada pengusaha yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mematuhi kewajiban pajak. Sebaliknya, Vietnam dengan ambang batas rendah mungkin menghadapi tantangan dalam administrasi dan kepatuhan wajib pajak kecil.
“Sebagai perbandingan, Indonesia menerapkan tarif PPN standar 12 persen mulai 2025, dengan berbagai insentif seperti pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok, sektor kesehatan, pendidikan, dan jasa transportasi. Vietnam menawarkan tarif PPN 5 persen untuk barang dan jasa esensial, memberikan manfaat langsung bagi konsumen pada kebutuhan dasar,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan Indonesia bertujuan menjaga daya saing UMKM, meningkatkan fiscal space, dan memastikan keberlanjutan fiskal melalui asas keadilan dan gotong royong. Sementara itu, pendekatan Vietnam lebih menyebar namun berisiko menekan usaha kecil akibat ambang batas yang rendah.
“Kebijakan Indonesia dalam konteks ini mencerminkan komitmen yang kuat untuk mendukung UMKM dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, kedua negara memiliki pendekatan yang disesuaikan dengan konteks ekonomi masing-masing,” katanya.
Dalam konteks daya saing global, penerapan PPN yang selektif seperti menyasar pada barang dan jasa mewah serta pemberian insentif bagi sektor produktif, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkuat fondasi ekonominya.
"Kebijakan PPN 12 persen memiliki potensi signifikan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong ekonomi jangka panjang jika diimbangi dengan insentif yang tepat," ucapnya.
Penerapan PPN 12 Persen Berpihak pada Masyarakat
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu juga menegaskan, Indonesia memiliki pendekatan yang lebih berpihak kepada masyarakat menengah ke bawah melalui skema belanja perpajakan dan insentif pajak.
"Vietnam memang memiliki tarif PPN lebih rendah, tapi mereka tidak memiliki mekanisme tax expenditure sebesar Indonesia. Insentif PPN kita jauh lebih besar, terutama untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya.
Febrio menyebutkan, bahan makanan pokok di Indonesia sepenuhnya bebas PPN, sementara di Vietnam dikenakan tarif 5 persen. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga memberikan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sejumlah barang tertentu, seperti tepung terigu dan minyak goreng, yang hanya dikenakan tarif 1 persen.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam pada semester pertama 2024 mencapai 6,42 persen, sebagian didorong oleh kebijakan pengurangan tarif tersebut. Sebaliknya Indonesia memilih untuk meningkatkan tarif PPN menjadi 12 persen, tetapi tetap memberikan berbagai insentif.
Untuk itu, Menkeu menegaskan bahwa Pemerintah juga akan terus mendengar berbagai masukan dalam memperbaiki sistem dan kebijakan perpajakan yang berkeadilan.
Ia berharap, dengan berbagai upaya ini, momentum pertumbuhan ekonomi dapat terus dijaga, sekaligus melindungi masyarakat, serta menjaga kesehatan dan keberlanjutan APBN.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
(Wul.-)
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari