Tingkat Kemiskinan di Indonesia Capai 60?ri Total Jumlah Penduduk. (Foto: Okezone.com/Antara)
JAKARTA – Bank Dunia (World Bank) merilis data terbaru mengenai kondisi kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam laporan tersebut, tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 171 juta jiwa, atau 60,3% dari total populasi sebesar 285 juta jiwa.
Jumlah penduduk miskin tersebut didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar USD6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp115.080 per orang per hari (kurs Rp16.800).
Adapun Bank Dunia juga mengukur tingkat kemiskinan dengan sejumlah indikator. Mulai dari jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran kurang dari USD3,65 per hari, setara dengan sekitar Rp58.400 per orang (kurs Rp16.000/USD). Berdasarkan standar ini, sekitar 44,3 juta orang di Indonesia tergolong miskin secara internasional.
Dari sisi kesehatan, rata-rata harapan hidup di Indonesia tercatat 68,2 tahun, artinya seorang bayi yang lahir saat ini diperkirakan akan hidup hingga usia tersebut jika tren kematian saat ini tidak berubah.
Dalam bidang pendidikan, tingkat partisipasi pendidikan dasar (SD/sederajat) di Indonesia mencapai 100,2%. Angka ini merupakan gross enrollment rate, yang menunjukkan bahwa jumlah siswa yang terdaftar melebihi total anak usia sekolah dasar karena adanya murid yang mendaftar lebih awal atau terlambat.
Meskipun demikian, Indonesia telah menyandang status negara berpendapatan menengah ke atas sejak tahun 2023 dan menargetkan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045. Untuk mencapainya, Bank Dunia menyatakan bahwa Indonesia perlu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga minimal 6% per tahun. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan sebesar 8% pada tahun 2029, melalui peningkatan investasi.
Permintaan domestik yang kuat telah menopang kinerja ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, percepatan pertumbuhan jangka panjang membutuhkan reformasi struktural guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko overheating ekonomi.
Meski pondasi makroekonomi Indonesia cukup solid, Bank Dunia mencatat adanya perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas. Kendala struktural telah menghambat alokasi sumber daya yang efisien ke sektor-sektor paling produktif. Akibatnya, pertumbuhan produktivitas faktor total menurun dari 2,3% menjadi 1,2% selama periode 2011 hingga 2024.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Indonesia didorong untuk melanjutkan reformasi guna meningkatkan efisiensi, termasuk melalui pendalaman sektor keuangan serta perbaikan iklim investasi, perdagangan, dan bisnis. Rasio pendapatan terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 12,7% pada tahun 2024, yang merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah.
Pertumbuhan PDB Indonesia pada 2024 tetap stabil di angka 5,0%, didorong oleh kuatnya permintaan domestik. Pengeluaran terkait pemilu turut mendorong konsumsi publik, yang berhasil mengimbangi lemahnya kontribusi ekspor akibat penurunan harga komoditas. Pertumbuhan tertinggi tercatat di sektor jasa, sementara sektor manufaktur yang dapat diperdagangkan, terutama tekstil, mengalami perlambatan, menyebabkan kenaikan PHK sebesar 20,2%.