
Oleh : Arif Jamali Muis, Sekretaris PWM DIY
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen RI) merilis hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) tahun 2025 sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem evaluasi pendidikan nasional. Kendati TKA bersifat tidak wajib, tingkat partisipasinya tergolong sangat tinggi. Dari sekitar 4,1 juta murid SMA/SMK/MA yang terdaftar, sebanyak 3,56 juta mengikuti asesmen tersebut. Partisipasi ini mencerminkan meningkatnya kesadaran publik, baik sekolah, orang tua, maupun peserta didik, akan pentingnya evaluasi capaian akademik sebagai fondasi perbaikan mutu pendidikan.
Tingginya partisipasi tersebut menjadi modal sosial yang penting. Ia menunjukkan bahwa kebijakan asesmen yang dirancang pemerintah tidak dipandang sebagai beban administratif, melainkan sebagai instrumen yang relevan untuk membaca kondisi pembelajaran. Namun, modal sosial ini perlu diimbangi dengan keberanian membaca hasil secara jujur dan bertanggung jawab.
Hasil TKA murid SMA menunjukkan capaian yang masih memprihatinkan, khususnya pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, dengan skor rata-rata masing-masing sekitar 36,1 dan 24,93. Angka ini tentu tidak dapat ditafsirkan secara dangkal sebagai kegagalan murid semata. Sebaliknya, ia harus dibaca sebagai sinyal struktural yang menuntut respons kebijakan yang lebih sistematis.
Setidaknya terdapat tiga lapis realitas yang tercermin dari hasil TKA tersebut. Pertama, ia menjadi cermin kompetensi akademik murid, terutama pada aspek numerasi dan literasi bahasa asing yang semakin penting dalam konteks global. Kedua, hasil tersebut merefleksikan kualitas proses pembelajaran di satuan pendidikan, termasuk efektivitas metode mengajar, relevansi materi, dan kapasitas pedagogik guru. Ketiga, TKA juga mengindikasikan kondisi ekosistem pendidikan di daerah, mulai dari kesenjangan sumber daya, akses terhadap bahan ajar bermutu, hingga dukungan kebijakan pendidikan di tingkat lokal.
Dalam kerangka ini, keterbukaan pemerintah dalam mengumumkan hasil TKA patut diapresiasi sebagai langkah membangun transparansi dan akuntabilitas publik. Data pendidikan yang dibuka secara jujur justru merupakan prasyarat bagi perbaikan sistemik. Oleh karena itu, hasil TKA tidak seharusnya melahirkan pesimisme atau saling menyalahkan, melainkan menjadi pijakan bersama untuk melakukan pembenahan yang terarah dan berkelanjutan.
TKA sebagai Instrumen Transformasi Pembelajaran
Agar tidak berhenti sebagai laporan statistik tahunan, TKA perlu ditempatkan dalam kerangka asesmen yang lebih bermakna. Selama ini, asesmen kerap dipahami sebatas assessment of learning, yaitu alat untuk mengukur capaian akhir murid. Padahal, dalam paradigma pendidikan modern, asesmen juga harus berfungsi sebagai assessment for learning dan assessment as learning.
Sebagai assessment for learning, TKA berperan memberikan umpan balik konkret bagi guru dan sekolah tentang area kompetensi yang perlu diperkuat. Hasil asesmen menjadi dasar untuk memperbaiki strategi pembelajaran, bukan sekadar menilai keberhasilan atau kegagalan. Sementara itu, sebagai assessment as learning, TKA mendorong seluruh ekosistem pendidikan—murid, guru, sekolah, dan pembuat kebijakan—untuk terus belajar dari data yang dihasilkan.
Pendekatan ini menuntut keberanian kebijakan untuk menjadikan data sebagai basis transformasi, bukan sekadar pelengkap administrasi. Dalam konteks ini, TKA menemukan maknanya sebagai instrumen perubahan pedagogi, bukan sekadar alat ukur kognitif.
Menjadikan TKA Lebih Bermakna dan Berdampak
Agar TKA benar-benar berdampak, pengelolaan hasil asesmen harus dilakukan secara berlapis dan terintegrasi. Di tingkat satuan pendidikan, Kemendikdasmen melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) perlu memastikan bahwa sekolah menerima laporan TKA yang komprehensif, termasuk analisis butir soal dan analisis per kompetensi.
Dengan laporan tersebut, guru dapat mengidentifikasi secara spesifik kelemahan murid, pola kesalahan yang berulang, serta jenis soal yang menuntut penalaran tingkat tinggi. Data ini menjadi dasar refleksi pedagogis dan perbaikan pembelajaran yang lebih terarah, bukan sekadar mengulang pola lama yang kurang efektif.
Pada saat yang sama, pemerintah daerah perlu mengolah hasil TKA pada level regional sebagai dasar perumusan kebijakan pendidikan yang lebih presisi dan kontekstual. Dengan demikian, TKA berfungsi sebagai instrumen kebijakan berbasis data (evidence-based policy) yang menjembatani evaluasi pembelajaran dengan perbaikan sistem pendidikan secara berkelanjutan.
Tugas Kolektif Pendidikan
Pada akhirnya, TKA harus dipahami sebagai titik awal pembenahan, bukan tujuan akhir. Tantangan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita menerjemahkan data menjadi perubahan nyata di ruang kelas: peningkatan kualitas guru, penguatan pembelajaran kontekstual, serta pembenahan numerasi dan literasi sejak pendidikan dasar.
Kemendikdasmen telah menyediakan cermin yang jujur melalui TKA. Kini, tanggung jawab kolektif seluruh pemangku kepentingan pendidikan adalah memastikan cermin itu digunakan untuk berbenah secara sungguh-sungguh—bukan sekadar dipandang, lalu dilupakan.
.png)
2 hours ago
1








































