REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Di tengah tensi perdagangan antara Amerika Serikat dan China, Indonesia menempati posisi menarik dalam lanskap ekspor global. Ketika Amerika Serikat mencari alternatif pemasok untuk menghindari tarif tinggi terhadap barang asal China, Indonesia muncul sebagai pilihan strategis dengan tarif yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia.
Secara historis, Indonesia mempertahankan surplus perdagangan yang signifikan dengan Amerika Serikat, berkisar antara 15 miliar–18 miliar dolar AS. Hal ini menjadi landasan kuat bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Negeri Paman Sam.
Produk-produk unggulan seperti minyak sawit (crude palm oil/CPO), tekstil, pakaian, furnitur, dan barang kulit menunjukkan potensi ekspor yang terus berkembang, terutama karena tarif Indonesia lebih kompetitif dibandingkan pesaing seperti Malaysia dan Vietnam.
“Untuk CPO, kita sangat kompetitif. Kita sudah menguasai sekitar 85 persen pasar CPO di Amerika Serikat,” kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual. “Dengan tarif kita yang hanya 19 persen dibandingkan Malaysia yang 26 persen, importir jelas akan lebih memilih produk kita.”
Saat ini kata David, AS sedang mencari alternatif supplier, sehingga semestinya Indonesia bisa melihat ini sebagai peluang, karena bisa jadi trade diversion dari negara yang tarifnya tinggi ke negara dengan tarif rendah. "Karena kalau kita selisih sedikit saja buat pengusaha itu penting. Dengan Vietnam nih, kita selisih satu persen saja bisa berbeda. Intinya kalau kita lebih rendah dari negara lain ini jadi kesempatan kita mendorong ekspor," ujar David.
Pergeseran pasar global juga ditandai dengan kelebihan pasokan (oversupply) di China serta strategi diversifikasi negara tersebut sejak era awal pemerintahan Trump. China kini lebih giat mengisi cadangan strategis, termasuk mineral langka (rare earth), sambil mendorong pelaku usaha mereka untuk berekspansi ke negara-negara lain. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah nasabah asal China di sektor perbankan Indonesia, baik individu maupun korporasi.
Namun, perang tarif yang diprakarsai Amerika Serikat sebenarnya tak hanya berdampak pada mitra dagang, tetapi juga konsumennya sendiri. Tarif 19 persen yang dikenakan terhadap produk ekspor Indonesia, menurut Sumual, sebenarnya lebih membebani konsumen Amerika Serikat ketimbang eksportir Indonesia.
"Tapi ini yang cerdik dari Trump. Ia menyampaikan seolah Indonesia dikenai tarif, padahal yang membayar adalah warga Amerika Serikat itu sendiri,” ujar David saat berbicara di acara Editors Briefing Bank Indonesia, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7/2025) lalu.
Sebab kebijakan tarif ini menurut David, memang untuk meringankan beban APBN AS. Sempat disampaikan oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent, bahwa AS bisa mendapat pemasukan 300 miliar-400 miliar dolar dari pendapatan tarif ini.
Peluang diversifikasi pasar
Selain Amerika Serikat, kini Indonesia juga membuka pintu ke pasar alternatif melalui perjanjian Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA), yang akhirnya tuntas setelah negosiasi panjang selama belasan tahun. David mengatakan kesepakatan ini memberi ruang bagi ekspor produk Indonesia untuk masuk ke kawasan Eropa dengan beban tarif yang lebih ringan.
"Ini kita harapkan bisa jadi alternatif market. Kita juga bisa kembangkan ke negara lain baik itu Asia, Amerika Latin, supaya bisa ada pasar alternatif selain AS," ujar David.
Dengan lebih dari 30 jenis produk ekspor ke Amerika Serikat dan adanya potensi trade diversion akibat tarif tinggi ke negara-negara seperti China, Indonesia memiliki momentum yang kuat untuk memaksimalkan posisi tawarnya. Tarif rendah tidak hanya menarik perhatian importir, tetapi juga memberi keunggulan kompetitif yang krusial di pasar internasional.
"Ini kesempatan kita untuk menambah ekspor," katanya.