Opini
, Jurnalis-Senin, 03 November 2025 |20:40 WIB

Agus Taufiq, Politisi Muda & Inisiator @KebijakanKita (Foto: Dok)
BEBERAPA tahun lalu, saya pernah mendengar ungkapan bahwa ‘jantung’ dari ekonomi riil adalah ‘pekerjaan’: suatu aktivitas inti manusia untuk bertahan hidup dan berkarya dari hari ke hari. Belakangan akhirnya saya tahu, bahwa ungkapan tersebut bersumber dari pikiran John Maynard Keynes, seorang ekonom brilian asal Inggris era Perang Dunia, dalam bukunya The General Theory yang terbit 1936 silam.
Memang benar, jika kita pikir lebih dalam, apalah artinya angka-angka ekonomi di atas kertas jika sektor riil yang paling nyata dirasakan masyarakat tidak dalam kondisi baik. Problem inilah yang sedang kita hadapi, yaitu semakin sempitnya lapangan pekerjaan. Karena harus diakui, mencari pekerjaan kini makin tidak mudah. Banyak orang pontang-panting mempersolek CV, mempercantik portofolio, dan menonjolkan kemampuan diri. Hasilnya tetap saja ditolak, bahkan tidak sedikit mendapatkan ghosting dari rekruter perusahaan.
Saya tidak mengarang-ngarang soal ini. Data terbaru BPS soal Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025 ini memang turun rendah ke angka 4,76%, tetapi masalahnya, banyak yang bekerja di atas fondasi rapuh. Dari mereka yang bekerja, hampir 60% di antaranya berada di sektor informal (sekitar 86,58 juta orang) dengan tingkat upah yang rendah.
Bahkan, untuk ukuran porsi ‘setengah bekerja’, atau mereka yang jam kerjanya kurang dari 35 jam dalam seminggu, jumlahnya masih sekitar 8%. Hal ini terbukti juga dari stagnasi pertumbuhan upah riil sepanjang 2017-2024 hanya sebesar 0,6% per tahun. Jelas bahwa stagnasi upah riil menunjukkan tidak ada perbaikan kesejahteraan yang berarti.
Lebih miris lagi, ada 9 juta dari 44 juta populasi Gen-Z kita yang berusia 15 hingga 24 tahun berada dalam kondisi NEET. NEET sendiri adalah kondisi di mana seseorang tidak sedang menempuh pendidikan, pekerjaan, ataupun pelatihan (not in education, employment, and training). Alias tidak sedang melakukan apa-apa. Padahal, mereka diharapkan menjadi penopang generasi Indonesia Emas 2045 mendatang.
Menkeu Purbaya baru-baru ini mengucurkan Rp200 Triliun ke Bank-Bank Himbara untuk mendorong lebih banyak penyaluran kredit, dengan harapan dunia usaha kembali bergeliat. Dengan dunia usaha yang bergairah, artinya, lapangan pekerjaan akan tercipta lebih banyak. Gagasan ini sebetulnya cukup positif dan patut diapresiasi.
Namun masalahnya, gagasan tersebut tidak menjawab masalah fundamental yang tengah kita hadapi. Karena problem mendasarnya terletak pada struktur industri kita yang masih rapuh.
Industri Nasional yang Masih Rapuh
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
.png)
7 hours ago
3

















































