“Pabrik Iki Openono Sanajan Ora Nyugihi Nanging Nguripi” yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia “ Rawatlah pabrik ini meski tidak membuat kaya namun menghidupi”, kalimat tersebut merupakan sebuah pesan yang tertulis pada papan di depan pintu masuk Pabrik Gula (PG) Mojo dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV.
Kepulan asap menghembus keluar dari cerobong-cerobong dan deru suara mesin terdengar dari dalam Pabrik Gula (PG) Mojo ditandai sebagai masa giling tebu telah dimulai, tampak suasana di luar pabrik antrean truk terlihat penuh dengan tumpukan tebu sebelum proses penimbangan dan bongkar muat yang kemudian akan dipindahkan ke atas lori.
Sebelum musim giling tebu dimulai, PG. Mojo menjalankan tradisi untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama masa giling yang telah diwariskan secara turun-temurun yaitu Cembengan dimana tradisi ini merupakan perayaan yang digelar untuk menyambut musim giling pabrik gula tiba diantaranya berupa pertunjukan wayang kulit dan pasar rakyat.
Di salah satu rangkaian Cembengan terdapat tradisi manten tebu atau pengantin tebu yang dilangsungkan layaknya sebuah pernikahan dengan mengarak sepasang tebu temanten disekitar pabrik, kedua tebu tersebut diberi nama Bagus Damar Kaloka dan Rara Madu Retno, yang mana keduanya dipetik dari perkebunan tebu sehari sebelumnya.
Begitulah aktivitas yang biasa terjadi bila memasuki masa giling tebu di kawasan industri gula di Solo Raya. Pabrik Gula (PG) Mojo Sragen yang terletak di pusat kota Sragen, Jawa Tengah didirikan pada tahun 1883, menjadi satu-satunya dari 12 pabrik gula di wilayah Solo Raya yang masih beroperasi hingga saat kini.
Menurut arsip, pemilik pertama PG. Mojo dimiliki oleh pengusaha asal Belanda bernama Williald Dogabert Van Nispen di bawah pengawasan perusahaan Hindia Belanda N.V. Culcutre Masscavay Laure yang berpusat di Den Hag dan Semarang. Sampai berjalannya waktu pasca Kemerdekaan Republik Indonesia PG. Mojo diambil alih Pemerintah dan saat ini di bawah pengelolaan PT. Sinergi Gula Nusantara (SGN).
Pabrik-pabrik gula yang pernah Berjaya pada abad ke-19 memiliki infrastruktur jaringan kereta pengangkut tebu, begitu pun dengan PG. Mojo yang memiliki jalur rel kereta di dalam kawasan pabrik, jalur itu digunakan untuk mengangkut tebu memakai lori ke dalam pabrik sebelum dilakukan proses produksi yang diatur secara unik berdasarkan nama pemberhentian kereta stasiun.
Tanaman tebu merupakan salah satu komoditi perkebunan unggulan di wilayah Sragen khususnya di bagian utara kota. Keberadaan Pabrik Gula (PG) Mojo sendiri yang sudah ada sejak era kolonial Belanda dalam sejarahnya memiliki andil besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah utara Sragen yang tanahnya terkenal kering dan tandus.
Menurut data, saat ini terdapat bahan baku tanaman tebu sekitar 4.000an hektare di wilayah Sragen yang sebagian besar berada di wilayah utara. Pada musim giling tahun 2025 sebagian besar tebu serapan dari petani itu masuk ke PG. Mojo dan bekerja sama dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sragen dengan sistem bagi hasil.
Pada musim giling 2025 PG Mojo menargetkan mampu merealisasikan giling 300.000 ton tebu angka itu lebih tinggi dari yang ditarget sebesar 277.000 ton tebu dengan realisasi produksi gula sekitar 21.000 ton. Optimisme ini bukan tanpa alasan mengingat realisasi produksi PG. Mojo dari beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan pada tahun 2023 mereka menggiling 180.000 ton tebu dengan realisasi produksi 12.000 ton gula, kemudian pada tahun 2024 realisasi itu naik signifikan menjadi 265.000 ton dengan produksi gula sebesar 17.500 ton.
Pabrik Gula (PG) Mojo masih bertahan hingga kini dan telah menjadi bagian dari sejarah kejayaan industri gula bangsa Indonesia. pabrik ini tumbuh bersama para petani tebu, pekerja pabrik dan masyakarat di sekitar Sragen, mereka merawat dan menjaga pabrik ini dengan tradisi yang menyertainya.