Oleh : Prof Ema Utami (Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada awal September 2025, pemerintahan Presiden Prabowo melakukan perombakan sejumlah menteri. Salah satu nama yang langsung menarik perhatian publik adalah Purbaya Yudhi Sadewa. Gaya komunikasi Purbaya dinilai cukup berbeda dari pendahulunya, Sri Mulyani. Jika Sri Mulyani dikenal dengan gaya tutur yang formal, berhati-hati, penuh perhitungan, dan kaya istilah teknis, maka Purbaya tampil lebih spontan dan ceplas-ceplos. Beberapa media asing bahkan menyebutnya sebagai "plain speaking economist". Gaya komunikasinya sempat menuai kritik, terutama ketika ia menyebut tuntutan "17+8" sebagai aspirasi "sebagian kecil rakyat".
Gaya bahasa seseorang memang kerap mencerminkan kepribadian maupun latar belakang sosialnya. Pada era Presiden Soeharto, kita mengenal Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara yang terkenal dengan gaya bicara pelan, sopan, dan penuh kehati-hatian. Menariknya, menurut penuturan wartawan sezamannya, di luar forum resmi Moerdiono justru tampil lebih luwes, santai, bahkan humoris.
Fenomena ini menunjukkan bahwa gaya bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh kepribadian, tetapi juga oleh konteks, lingkungan, budaya, latar pendidikan, tujuan komunikasi, hingga media yang digunakan. Di era digital saat ini, media sosial seperti X, Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok turut membentuk ragam gaya berbahasa, termasuk dalam ranah komunikasi publik.
Berbagai bentuk gaya bahasa, baik lisan maupun tulisan, merupakan data yang sangat penting untuk direkam—bukan hanya dari sisi linguistik, tetapi juga dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga psikologis. Di era digital yang makin terhubung, data gaya bahasa menjadi bahan berharga untuk pengembangan teknologi kecerdasan artifisial (AI), khususnya model bahasa besar (Large Language Models, LLMs).
Model seperti LLMs membutuhkan data teks yang telah dianotasi secara rinci agar mampu memahami makna, emosi, dan konteks percakapan manusia. Bahkan dalam pengembangan AI multimodal, yang menggabungkan teks, suara, dan gambar, anotasi teks tetap menjadi fondasi penting untuk pelatihan dan evaluasi. Atas dasar itu, pembangunan korpus teks yang kaya anotasi menjadi kebutuhan strategis. Tahun ini, Universitas Amikom Yogyakarta bersama Universitas Bumigora berhasil lolos dalam Program Riset Konsorsium Unggulan Berdampak (RIKUB) 2025. Kami membentuk konsorsium riset untuk proyek berjudul "Pengembangan Sistem Machine Learning untuk Korpus Bahasa Sasak, Samawa, dan Mbojo Berbasis Gaya Kepribadian pada Wilayah Rentan".
Saya diberi amanah sebagai Ketua Konsorsium, memimpin tim dari kedua kampus untuk menghadirkan inovasi dalam pelestarian bahasa dan budaya lokal berbasis teknologi. Penelitian ini sejalan dengan berbagai inisiatif Universitas Amikom sebelumnya dalam pengembangan korpus bahasa daerah sebagai upaya menjaga kekayaan bahasa Indonesia. Seperti pepatah lama, "bahasa menunjukkan bangsa." Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin identitas dan jati diri penuturnya. Di masa depan, siapa yang memiliki korpus kaya anotasi—dan AI yang mampu membacanya—akan memiliki keunggulan dalam riset linguistik, komunikasi, politik, bisnis, hingga psikologi.
Kesadaran akan pentingnya bahasa ini bahkan ditegaskan dalam Alquran. Dalam surah Al-Hujurat ayat 11, Allah mengingatkan agar kita tidak merendahkan sesama, karena bisa jadi yang direndahkan justru lebih baik. Termasuk dalam hal berbahasa, Islam mengajarkan untuk memilih kata yang baik dan menghindari olok-olok yang mencederai martabat. "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka lebih baik dari mereka yang merendahkan... Janganlah kalian saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk." (QS. Al-Hujurat: 11), Wallahu a‘lam.