Latuharhary , Piagam Jakarta, dan Hak Masyarakat Adat

9 hours ago 2
J Latuharhary adalah orang Maluku pertama yang meraih gelar sarjana hukum di Belanda. Ia bersama tokoh Muslim di Panitia Perancang UUD tidak setuju dengan frasa "menjalankan syariat buat pemeluk-pemeluknya" di Pembukaaan UUD. Apa kaitannya dengan hak masyarakat adat? Sumber:buku mr. johanes latuharhary, hasil karya dan pengabdiannya

Moh Hatta mendapat aduan dari opsir Jepang pada 17 Agustus 1945 sore. Esok paginya, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terpaksa mundur dari jawdal, karena Hatta harus menyelesaikan terlebih dulu aduan opsir Jepang, karena saat itu Jepang masih berkuasa di Maluku.

Lobi-lobi harus dilakukan. Tujuannya agar frasa “berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya”yang diambil dari Piagam Jakarta untuk Pembukaan Rancangan UUD yang akan dibahas, diubah.

Frasa itu sebenarnya sudah disetujui di rapat Panitia Perancang UUD. Latuharhary yang keberatan dengan alasan masyarakat adat akan kehilangan hak akibat frasa itu, pun akhirnya menerima putusan rapat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lalu mengapa ada opsir Jepang menemui Hatta untuk menolak frasa itu? Kepada Hatta, opsir Jepang itu mengatakan, orang-orang dari Indonesia Timur keberatan dengan frasa “dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya”.

Setelah lobi panjang, “berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Apa alasan tokoh-tokoh dari Indonesia Timur keberatan dengan frasa “dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya”?

Frasa itu tercantum dalam Piagam Jakarta. Piagam Jakarta sudah disepakati oleh tokoh-tokoh Indonesia Timur pada 22 Juni 1945 yang tergabung di Panitia Sembilan.

Namun, ketika Rancangan UUD dibahas di rapat Panitia Perancang UUD pada 11 Juli 1945, muncul keberatan, di antaranya dari J Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hussein Djajadiningrat. Setelah melewati perdebatan, akhirnya rapat yang dipimpin Sukarno itu memutuskan menyetujui digunakannya frasa itu di Preambule (Pembukaan) UUD.

“Preambule adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” kata Sukarno.

Namun, ini belum keputusan final, sebab, setelah proklamasi kemerdekaan, Rancangan UUD itu masih perlu dibaas lagi di sidang PPKI. Karena sebelum sidang sudah dilaukan lobi untuk perubahannya, maka tidak ada perdebatan saat sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.

Mernarik menyimak alasan Latuharhary keberatan dengan frasa itu saat rapat Panitia Perancang UUD pada 11 Juli 1945. Ia melihat bahwa “berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya” sebagai kalimat yang tidak terang.

Ia meminta agar UUD menggunakan kalimat-kalimat yang terang. Menurutnya, “berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya” tidak hanya akan bermasalah dengan pemeluk agama lain.

“Kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat-istiadat,” kata Latuharhary, orang Maluku pertama yang meraih gelar sarjana hkum (Mr) di Belanda. Ia belajar hukum adat dari profesor hukum adat Van Vollenhoven.

RE Elson di buku The Idea of Indonesia menyebut, Latuharhary memiliki kekhawatiran masyakarat Minang meninggalkan adat istiadat mereka. Sedangkan untuk masyarakat Maluku, ia khawatir akan kehilangan hak atas tanah adat mereka.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |