Jakarta -
Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang secara signifikan menaikkan tarif impor baja dan aluminium menjadi 50% efektif per 5 Juni 2025 merupakan langkah proteksionisme yang patut dicermati. Meskipun tidak secara langsung menargetkan Indonesia, kebijakan tersebut diperkirakan berdampak tidak langsung ke industri baja dan aluminium nasional
Maka dari itu, dibutuhkan analisis mendalam dan respons strategis yang adaptif terhadap kebijakan baru dari negeri Paman Sam tersebut.
Pasar Global Terdistorsi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peningkatan tarif AS ini akan menciptakan distorsi pasar global yang signifikan. Dengan hambatan 50% di pasar AS, eksportir baja dan aluminium dari negara-negara produsen utama, khususnya China, akan terpaksa mencari pasar alternatif.
Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi sasaran logis untuk pengalihan ekspor ini. Potensi banjir impor baja dan aluminium berharga murah di pasar domestik Indonesia adalah ancaman nyata yang dapat menekan produsen lokal secara substansial.
Perbedaan harga yang mencolok antara baja AS (US$ 984/ton) dan China (US$ 392/ton) pada Maret 2025 menggarisbawahi kerentanan perdagangan baja. Jika produk asing yang lebih murah membanjiri pasar, daya saing produk baja dan aluminium Indonesia di pasar domestik dan internasional diperkirakan akan tergerus.
Fenomena ini, jika tidak diantisipasi, dapat mengakibatkan penurunan volume produksi, kerugian finansial, dan potensi pemutusan hubungan kerja di sektor industri strategis ini.
Gangguan Rantai Investasi
Dampak tidak langsung juga merambah ke ranah rantai pasok dan iklim investasi. Industri aluminium Indonesia masih memiliki ketergantungan pada impor bahan baku esensial seperti bauksit. Kebijakan proteksionisme AS ini berpotensi mengacaukan stabilitas pasar komoditas global, yang pada gilirannya dapat menaikkan biaya impor bahan mentah bagi produsen Indonesia.
Kenaikan harga bahan baku akan membebani biaya produksi dan mengurangi margin keuntungan. Di sisi investasi, ketidakpastian perdagangan global yang diakibatkan oleh tarif AS dapat mengerus minat investasi asing di sektor logam Indonesia.
Investor, khususnya dari negara-negara yang terkena retaliasi (misalnya Kanada, Meksiko), mungkin akan bersikap lebih konservatif. Bahkan bisa jadi mencari pasar baru secara agresif yang bukan di Asia Tenggara serta mengurangi aliran modal yang sangat dibutuhkan untuk modernisasi dan ekspansi industri.
Lanjut ke halaman berikutnya
Tantangan Ekspor Proteksi
Meskipun Indonesia bukan eksportir utama baja ke AS, penutupan akses pasar AS bagi negara lain akan memperketat persaingan di pasar ekspor non-AS. Negara-negara yang terdampak tarif AS mungkin akan mengalihkan fokus ekspor mereka ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menciptakan persaingan yang lebih ketat bagi produk Indonesia.
Lebih lanjut, jika Uni Eropa atau negara lain membalas tarif AS dengan kebijakan proteksionisme serupa, Indonesia berisiko terkena efek domino. Produk ekspor Indonesia bisa terdampak jika negara-negara lain menganggap Indonesia "mengambil peluang" dari disrupsi pasar, memicu retaliasi yang tidak diinginkan.
Implikasi Industri Pengguna
Dampak kenaikan tarif ini juga akan merambat ke industri pengguna baja dan aluminium domestik. Sektor-sektor vital seperti konstruksi, otomotif, dan manufaktur kemasan di Indonesia sangat bergantung pada pasokan baja dan aluminium, baik dari produksi domestik maupun impor.
Gangguan pasokan global, ditambah potensi kenaikan harga bahan baku impor, dapat meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya akan memicu inflasi pada produk akhir seperti mobil, kaleng makanan, dan peralatan rumah tangga.
Pengalaman 2018, di mana tarif AS menyebabkan lonjakan harga baja global 6-20%, menjadi preseden yang patut diwaspadai, mengingat dampaknya pada proyek-proyek infrastruktur padat baja di Indonesia.
Respons Strategis Solutif
Menghadapi kompleksitas dan risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS ini, industri dan pemerintah Indonesia harus merumuskan respons strategis yang proaktif dan adaptif. Hal ini mencakup keharusan untuk secara agresif mendiversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-AS guna mengurangi ketergantungan pada pasar yang rentan proteksionisme.
Selain itu, investasi perlu didorong dalam peningkatan daya saing industri lokal melalui efisiensi produksi, modernisasi teknologi, dan inovasi produk untuk mengeliminasi ketergantungan pada impor bahan baku dan meningkatkan kapabilitas bersaing.
Secara paralel, penguatan instrumen kebijakan perdagangan domestik menjadi krusial untuk melindungi pasar dari praktik dumping. Dukungan diplomasi perdagangan aktif di forum regional dan multilateral juga sangat diperlukan untuk menolak kebijakan perdagangan yang tidak adil dan membangun aliansi strategis.
Terakhir, kebijakan harus pula mencakup dukungan terukur pada industri hilir untuk membantu adaptasi terhadap potensi kenaikan biaya bahan baku melalui integrasi rantai pasok domestik dan diversifikasi sumber pasokan, sehingga secara komprehensif memitigasi dampak negatif dan mengoptimalkan peluang di tengah gejolak ekonomi global.
Sebagai kesimpulan strategis adaptif, kenaikan tarif baja dan aluminium AS bukan sekadar isu bilateral, melainkan katalis yang akan mendefinisikan ulang dinamika perdagangan global. Industri baja dan aluminium Indonesia, meski tidak menjadi sasaran utama, akan menghadapi risiko tidak langsung yang signifikan melalui distorsi pasar, gangguan rantai pasok, dan eskalasi proteksionisme.
Namun, dengan respons strategis yang terukur, adaptif, dan berbasis data, Indonesia dapat tidak hanya memitigasi dampak negatif, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global.
Implementasi kebijakan yang berorientasi pada daya saing lokal, diversifikasi pasar, dan diplomasi aktif adalah keharusan untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri baja dan aluminium di tengah gejolak ekonomi global.
Rioberto Sidauruk
Tenaga Ahli AKD Komisi VII DPR RI.
Tonton juga Video: Prabowo Resmikan Smelter Emas Milik PT Freeport di Gresik