Hari Ibu, Momentum Penguatan Peran Ibu dalam Literasi Anak

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Iin Inawati, MPd (Dosen Magister Pendidikan Bahasa Inggris UAD dan Pendiri Gerakan CeRiBa (Ceria dengan Membaca))

Hari Ibu bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan momentum reflektif untuk menegaskan kembali peran strategis ibu dalam membentuk masa depan anak melalui literasi. Di tengah tantangan digital yang semakin kompleks, ibu memegang peranan penting dalam mengenalkan literasi anak sejak dini—bahkan sejak anak berada di dalam rahim hingga masa–masa awal kehidupan di dunia.

Ibu adalah sosok pertama yang memperkenalkan anak pada bahasa melalui suara, kata, cerita, dan makna. Aktivitas sederhana seperti membacakan buku sebelum tidur, mengenalkan kosakata baru, dan menemani anak mengeksplorasi buku secara mandiri menanamkan kecintaan terhadap dunia literasi yang penuh warna dan imajinasi. Karena itu, memperingati Hari Ibu sejatinya adalah menguatkan kesadaran bahwa membangun generasi literat bermula dari rumah melalui sentuhan, keteladanan, dan kesabaran seorang ibu.

Dalam kajian akademik, literasi awal (emergent literacy) mencakup pengetahuan tentang huruf, kesadaran fonologis, kesadaran cetak, keterampilan bercerita, kemampuan memahami informasi, kemampuan berkomunikasi, serta kemampuan berpikir kritis. Semua kemampuan ini tumbuh melalui interaksi bermakna antara anak dan orang dewasa terdekatnya, terutama ibu (Lyesmaya dkk., 2022).

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dan keterampilan awal anak berkorelasi positif dengan kesempatan belajar bahasa dan literasi anak. Anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk belajar bahasa dan literasi dibandingkan anak dengan ibu berpendidikan lebih rendah, yang akhirnya memengaruhi keterampilan bahasanya di kemudian hari. Ini berarti ada kesenjangan yang harus disempitkan. Meningkatkan kesadaran peran Ibu dalam meningkatkan literasi anak adalah alternatif cara menyempitkan kesenjangan tersebut.

Saat ini, satu tantangan literasi terbesar adalah kecenderungan anak yang lebih tertarik pada gawai dibandingkan membaca buku. Namun, hal ini bukan berarti anak tidak menyukai buku, melainkan membaca belum dibiasakan sejak awal atau anak belum menemukan bacaan yang sesuai usia dan mintanya. Untuk menjawab tantangan ini, ibu dapat mengambil peran sebagai fasilitator literasi di rumah—menghadirkan pengalaman yang menyenangkan dan relevan agar anak merasa bahwa membaca itu menarik dan bernilai.

Peran ibu sebagai fasilitator literasi tidak terbatas pada aktivitas fisik seperti menyediakan buku, tetapi mencakup bagaimana ibu berinteraksi dengan buku di hadapan anak. Keteladanan ibu dalam membaca di rumah memberikan contoh nyata bagi anak. Ketika anak melihat ibunya membaca, mereka terdorong untuk meniru dan memiliki hubungan positif terhadap kegiatan membaca. Keteladanan ini diperkuat oleh penelitian Ramadhanti dkk. (2025) yang menunjukkan bahwa Ibu yang memberi teladan kebiasaan membaca di rumah mampu menumbuhkan ketertarikan dan kebiasaan membaca pada anak.

Menciptakan lingkungan literasi di rumah juga merupakan strategi penting. Pengadaan pojok baca atau perpustakaan mini di rumah dengan rak buku berisi buku bergambar sesuai usia anak serta karpet dan bantal dapat menciptakan suasana nyaman yang memotivasi anak untuk mengeksplorasi sendiri buku-bukunya. Anak menjadi lebih mudah mengakses bacaan, memilih buku yang mereka sukai, menggambar, menulis, serta membangun hubungan positif dengan literasi.

Selain itu, kegiatan membaca bersama terjadwal perlu dilakukan secara konsisten. Tidak perlu lama, tetapi rutin, misalnya sebelum tidur atau pada waktu khusus yang disepakati keluarga. Aktivitas ini membantu anak memahami bahwa membaca adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari dan juga mempererat hubungan emosional antara orang tua dan anak. Dalam konteks ini, pendekatan dialogic reading—membaca sambil berdiskusi interaktif tentang gambar, isi cerita, dan pengalaman anak—mendorong perkembangan bahasa dan berpikir kritis anak secara signifikan.

Literasi kontekstual sehari-hari juga dapat dimanfaatkan untuk memperkaya pengalaman literasi anak. Label pada makanan atau minuman, nama toko di jalan, serta daftar belanja merupakan sumber literasi yang mudah dipahami anak dan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca serta memahami informasi dalam konteks nyata.

Upaya menumbuhkan literasi anak tentu tidak bisa dilakukan ibu seorang diri. Diperlukan kolaborasi antara ibu, guru, dan sekolah untuk menciptakan ekosistem literasi yang kaya. Ibu dapat berkomunikasi dengan guru dan berperan aktif dalam kegiatan literasi sekolah. Aktifitas penguatan literasi seperti membaca nyaring, kegiatan menggambar tokoh cerita, atau kegiatan storytelling yang memperkuat minat baca anak (Kurniawati dkk., 2024) dapat diusulkan ke sekolah dan Ibu dapat berperan aktif dalam teknis pelaksanaannya.

Hari Ibu sepatutnya dimaknai lebih dari sekadar ungkapan kasih sayang; ia merupakan momentum untuk menguatkan peran ibu sebagai pendamping utama literasi anak sejak dini. Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan memahami, menggunakan informasi, dan berpikir kritis. Melalui keteladanan, penciptaan lingkungan rumah, kebiasaan membaca yang konsisten, serta dukungan lingkungan yang kolaboratif, ibu berkontribusi besar dalam membentuk generasi yang tidak hanya mampu membaca teks, tetapi juga mampu membaca dunia dengan nalar kritis dan empati.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |