Jakarta -
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatatkan total ekspor furnitur ke Amerika Serikat (AS) senilai US$ 1,64 miliar atau setara Rp 27 triliun (kurs Rp 16.405), dengan pangsa pasar di sektor ini sebesar 5,57%. Sejalan dengan itu, Kemendag telah negosiasi dengan AS agar dapat menghapus tarif resiprokal terhadap produk mebel dan deregulasi aturan buat dorong angka ekspor mebel.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso bilang setiap produk mebel atau furnitur yang diekspor ke AS akan dikenakan bea masuk sebesar 3%. Dengan adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump, selama 90 hari Indonesia dikenakan tarif baseline sebesar 10% lantaran masih tahap negosiasi.
"Makanya kita minta supaya resiprokalnya hilang. Kalau resiprokal hilang, berarti 'kan tetap 3%. Sekarang selama 90 hari hanya dikenakan baseline 10%. Jadi 10% tambah 3%. Tetapi importir Amerika ini juga tidak mau bayar bea masuknya, maunya didiskon 10% ke eksportirnya. Tetapi kita 'kan negosiasinya baru ngomong, kemarin sudah ketemu, baru ngomongin kerangkanya apa cakupan yang akan dinegosiasikan," ujar Budi saat acara launching Indonesia International Furniture Expo 2026 di Kantor Kemendag, Jakarta, Rabu (21/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi melanjutkan, ekspor furnitur dan kerajinan dari Tanah Air per 2024 tercatat mendapuk urutan ke-20 di dunia. Ia juga merinci nilai ekspor ini mencapai US$ 2,43 miliar atau setara hampir Rp 40 triliun.
"Jadi, kalau bisa ya 10 besar, jangan 20. Sekarang kita coba pelajari masalahnya apa. Kita itu lagi membuat deregulasi. Deregulasi kita yang di Kemendag itu tidak hanya deregulasi impor, deregulasi ekspor juga kita lakukan, termasuk deregulasi kemudahan berusaha di bidang perdagangan," tambah Budi.
Budi mengaku pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan asosiasi terkait soal penghapusan kewajiban V-Legal untuk produk turunan dari kayu seperti furnitur dan kerajinan untuk mempermudah ekspor. Untuk diketahui, V-Legal adalah dokumen yang diperlukan eksportir produk kayu untuk memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).
"Kita sih penginnya sebenarnya kalau produk turunan dari kayu seperti furnitur dan kerajinan itu tidak perlu V-Legal. V-Legal boleh, tetapi hanya untuk negara yang membutuhkan misalnya Inggris dan Uni Eropa. Tapi ke negara lain sih kami mengusulkan tidak perlu, kecuali untuk produk-produk kayu, SVLK-nya harus ada," terangnya.
"Kalau teman-teman UMKM misalnya, kalau membuat furnitur, membuat kerajinan pasti mengambil kayunya ke hulu yang sudah punya SVLK. Eksportir mengambil kayu 'kan pasti kayunya legal, ke hulu yang mempunyai SVLK," ia menutup.
(fdl/fdl)