REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia dinilai mulai bergerak dari dominasi sektor keuangan menuju penguatan sektor riil, terutama melalui industri halal yang kian berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Transformasi ini dinilai penting dijaga agar pada 2026 ekonomi syariah tetap inklusif dan berkelanjutan.
“Semestinya ekonomi berkembang lebih dahulu sektor riilnya, lalu disusul sektor keuangan,” ujar Ekonom Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF Handi Risza dalam keterangan yang diterima Republika, Kamis (25/12/2025).
Ia menegaskan arah penguatan ekonomi syariah perlu bertumpu pada aktivitas produksi dan industri. Pengembangan sektor riil berbasis industri halal dinilai memiliki peluang besar pada 2026, seiring penguatan kelembagaan halal di pemerintahan. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) di bawah Presiden dinilai memiliki otoritas yang lebih kuat dalam pengembangan produk halal.
Handi juga menyoroti peluang strategis dari program Makan Bergizi Gratis dengan anggaran Rp 335 triliun yang dinilai dapat menjadi katalis industri halal nasional. Program tersebut berpotensi mendorong penguatan rantai pasok halal dari hulu hingga hilir.
Di sisi kebijakan, ekonomi dan keuangan syariah telah terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, diarahkan menjadi pusat ekonomi syariah global.
Dalam State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025 yang dipublikasikan DinarStandard, Indonesia mempertahankan peringkat ketiga dunia dengan skor Global Islamic Economy Indicator sebesar 99,9. Skor tersebut meningkat 19,8 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Capaian paling menonjol dalam laporan tersebut adalah posisi Indonesia sebagai negara dengan investasi halal tertinggi di dunia, yakni 40 transaksi senilai 1,6 miliar dolar AS sepanjang 2023. Investasi itu mencakup sektor makanan halal, kosmetik, farmasi, teknologi halal, serta gaya hidup Muslim.
Meski demikian, Handi menilai masih terdapat pekerjaan rumah pada sisi inklusi. Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025 Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan literasi keuangan syariah mencapai 43,42 persen, sementara tingkat inklusinya baru 13,41 persen.
Artinya, terdapat selisih 30,01 persen masyarakat yang memahami keuangan syariah tetapi belum memanfaatkannya. Kondisi ini dinilai memerlukan terobosan inovatif agar akses dan informasi keuangan syariah semakin dekat dengan masyarakat, termasuk hingga ke daerah.
.png)
3 hours ago
1








































