Ekonomi Syariah Adalah Instrumen Otentik Pancasila, Bukan Sekadar Impor 'Arabisasi'

8 hours ago 4

Oleh : Mega Oktaviany (Ekonom Universitas Gunadarma / Sekretaris Eksekutif Bersama Institute)

REPUBLIKA.CO.ID, Kita sering salah kaprah. Ketika diskursus Ekonomi Syariah (ES) mengemuka, narasi publik segera terbelah menjadi dua kutub yang sama-samar sempit. Kutub pertama memandangnya sebagai "impor" teologis, sebuah "Arabisasi" ekonomi yang asing dan berpotensi menggerus nilai-nilai lokal. Kutub kedua, yang lebih pragmatis, melihatnya sekadar sebagai niche market, peluang bisnis triliunan dolar untuk menggarap pasar Muslim. Keduanya gagal menangkap esensi. Keduanya melewatkan gambaran besar.

Bagaimana jika Ekonomi Syariah, ketika kita telanjangi dari label dan prasangka, sebenarnya adalah nama lain untuk DNA ekonomi yang diimpikan oleh Bapak Bangsa kita? Bagaimana jika ES, alih-alih menjadi ancaman, justru merupakan instrumen paling operasional dan otentik untuk menjalankan Ekonomi Pancasila?

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Ironisnya, sementara kita masih gamang secara filosofis, secara pragmatis Indonesia adalah raksasa di panggung global. Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumen Muslim global telah mencapai $2,43 triliun pada 2023 dan diproyeksikan melonjak menjadi $3,36 triliun pada 2028. Kita unggul di pasar, kita memimpin di sektor modest fashion dan pariwisata ramah Muslim. Namun, kita masih gagap menjelaskan "mengapa" kita melakukannya di luar alasan "agama" atau "pasar". Untuk menjawabnya, kita perlu membedah ES tidak hanya dari kacamata Fiqh, tetapi juga Sosiologi dan Antropologi. Dan kita akan menemukan bahwa setiap prinsipnya beririsan langsung dengan setiap sila Pancasila.

Fiqh, Kemanusiaan, dan Anti-Eksploitasi (Sila 1 & 2)

Fiqh sering disederhanakan sebagai daftar "halal-haram". Namun, inti dari Fiqh adalah Maqashid Shariah (tujuan hukum), yakni terwujudnya kemaslahatan (maslahah).

Salah satu contoh paling kontroversial, yaitu larangan Riba (bunga). Pancasila, dalam Sila ke-2, menuntut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sistem ekonomi yang beradab adalah sistem yang tidak eksploitatif. Di sinilah letak kritiknya, Riba, dalam esensinya, adalah sistem di mana "uang bekerja untuk uang" tanpa perlu terhubung ke sektor riil, tanpa ikut menanggung risiko. Ia adalah sistem yang memungkinkan si kaya mengekstraksi nilai dari si miskin hanya dengan modal, menciptakan penghisapan yang sistematis. Ini adalah antitesis dari "Kemanusiaan yang Beradab".

Ekonomi Syariah (via Fiqh Maqashid) menempatkan perlindungan manusia (Hifz al-Nafs) dan keadilan ('Adl) di atas segalanya. Ekonomi harus melayani manusia, bukan sebaliknya. Ini adalah perwujudan ekonomi yang Ber-Ketuhanan (Sila ke-1). Sebuah ekonomi yang memiliki moralitas transenden, yang menolak menjadikan profit sebagai satu-satunya tuhan, dan yang berani berkata "tidak" pada praktik yang legal secara hukum-positif namun destruktif secara kemanusiaan.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |