Jakarta -
Badan Pusat Statistik (BPS) resmi merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 sebesar 5,12%. Angka tersebut menjadi diskursus di kalangan ekonom lantaran tumbuh jauh melampaui perkiraan.
Sejumlah ekonom juga mempertanyakan kredibilitas data statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, angka statistik ini dinilai sebagai anomali dengan realita di lapangan.
Angka Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) misalnya, BPS mencatat pertumbuhan hingga 6,99% padahal sektor manufaktur terus mengalami koreksi di beberapa bulan terakhir. Pertumbuhan angka statistik ini disebut tidak berdampak signifikan kepada masyarakat umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daya Beli Melemah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan adanya jarak antara pertumbuhan angka statistik terhadap realita di lapangan. Dari salah satu komponen penopang pertumbuhan ekonomi, jelas Faisal, seperti konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,97% YoY bertolak belakang dengan realita pasar di mana daya beli masyarakat melemah.
"Belum lagi kalau kita bedah per kelompok pendapatan. Jadi ini sering kali juga terjadi, peningkatan konsumsi rumah tangga di kalangan menengah atas, menengah bawahnya yang mayoritas itu tidak merasakan hal yang sama. Bahkan justru mengalami kemunduran dari sisi income, dari sisi daya beli, pekerjaan, dan lain-lain," terang Faisal kepada detikcom, Rabu (6/8/2025).
Menurut Faisal, hal ini mestinya terefleksikan dalam komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi kepercayaan konsumen maupun penjualan ritel. Ia menyebut, komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi menyatakan realita yang berbeda.
"Kebanyakan masyarakat jika ada perbaikan angka statistik, itu real-nya di lapangan masih merasakan banyak hambatan," terangnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengaku terkejut dengan angka statistik pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan pertumbuhan PMTB counter-intuitive pasalnya PMI Manufaktur yang terus terkoreksi seiring capaian Foreign Direct Investment (FDI) yang berada di bawah target.
Penjualan Mobil Turun
Di sisi lain, ia juga menyebut penjualan di sektor otomotif seperti mobil mengalami penurunan di beberapa bulan terakhir, begitu juga sektor properti yang mengalami kelesuan. Seandainya angka pertumbuhan ini benar, terang Wija, mestinya pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa ditekan.
"Semoga angka-angka tersebut benar, sehingga PHK makin sedikit, lapangan kerja makin tersedia. Kita positif thinking saja," jelasnya.
Sebaliknya, jika angka statistik tersebut salah akan berdampak pada kebijakan pemerintahan. Dalam kondisi ini, terang Wija, kebijakan akan salah arah dan jauh dari realita yang dibutuhkan. Selain itu, jumlah lapangan kerja juga akan sangat terbatas jika ada kesalahan dari angka yang dirilis BPS.
"Kita juga akan melihat fenomena aneh, di mana tax ratio akan semakin rendah terlepas berbagai upaya dilakukan Kemenkeu, serta jumlah lapangan kerja yang tercipta tiap 1% pertumbuhan PDB akan terus merosot. Lalu kita menyalahkan investasi yang didominasi investasi padat modal," imbuhnya.
(ara/ara)