Deflasi Mei: Harga BBM-Cabai Turun, tapi Kenapa Masyarakat Malah Makin Susah?

1 day ago 6

Jakarta -

Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025 secara bulanan (month to month/mtm). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi ini terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, hingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi oleh Pertamina seiring turunnya harga minyak mentah dunia.

Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan penurunan sejumlah harga itu bukan berarti tanda ekonomi sehat. Melainkan adanya pelemahan daya beli.

"Kalau harga turun, berarti dari sisi permintaan nggak bisa mengikuti. Dalam kondisi normal saat ekonomi baik, kalau harga turun berarti ada peningkatan permintaan, itu biasanya harga bisa naik, tapi ini harga turun berarti mencerminkan permintaan. Kalau permintaan turun, berarti ada masalahnya dari masyarakat, saya duga kemungkinan terbesar memang persoalan daya beli," kata Tauhid kepada detikcom, Senin (2/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tauhid menyebut penurunan daya beli tercermin dari melambatnya perekonomian yang hanya tumbuh 4,87% pada kuartal I-2025 (year on year/yoy). Pertumbuhan itu utamanya ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,89%, lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang tumbuh 4,91%.

"Artinya memang sudah di bawah rata-rata normal yang 5% selama beberapa kuartal. Saya duga memang persoalan daya beli menjadi persoalan utama. Ada indikator lain misalnya pelemahan penjualan ritel, PMI kita sekarang kontraksi, jadi indikator-indikator ritel itu kelihatan bahwa memang ada pelemahan daya beli. Termasuk penjualan semen atau kendaraan roda dua ini trennya turun," beber Tauhid.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Menurutnya, deflasi berkepanjangan menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja.

"Ini bukan kesuksesan mengendalikan inflasi, tapi demand pull inflation-nya tidak bergerak naik. Artinya penduduk besar, tapi sebagian besar tahan belanja. Konsumsi rumah tangga yang lambat artinya ekonomi ke depan lebih menantang," ucap Bhima.

Adapun akar dari permasalahan ini dinilai karena tidak banyaknya lapangan kerja tercipta. Alhasil tidak ada peningkatan pendapatan masyarakat secara agregat, yang ada justru pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat.

"Karena banyak yang PHK, banyak masyarakat menahan pembelian dan kalau kita lihat mereka menggunakan tabungan untuk survival. Jadi menjadikan cadangan untuk membeli, tapi tidak dibelanjakan banyak-banyak," imbuhnya.

(aid/fdl)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |