Bandung -
Regina Ramadhani tak pernah menyangka dirinya akan bekerja sebagai penagih utang alias debt collector. Tugas yang tak hanya menguras tenaga, tapi juga membuatnya kerap dicurigai, dinilai, bahkan dihakimi, terlebih karena ia seorang perempuan.
"Kalau untuk pandangan tetangga mah ya pasti gitu, apalagi kan di kantor saya perempuan sendiri. Kadang ada yang mikir negatif. Tapi ya memang murni cari rezeki saja," ujar Regina saat berbincang kepada detikJabar belum lama ini.
Menurutnya bagi sebagian orang, mungkin mudah saja menilai tanpa tahu latar belakangnya. Tapi bagi Regina, ini soal tanggung jawab sebagai seorang ibu tunggal yang harus menghidupi anaknya sendirian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang sih kalau pulang kerja, enggak bisa tidur, suka nangis sendiri. Enggak mau sebenarnya profesi kayak gini, cuma memang kebetulan saya juga single parent. Punya anak yang harus dibiayai sekolahnya," tutur Regina dengan nada sumbang.
Belum lagi label miring sebagai debt collector semakin kental memunculkan stigma buruk kepada Regina. Pulang malam dan profesi yang kerap disalahpahami membuatnya kerap dicap wanita bukan-bukan.
Padahal perempuan 27 tahun ini hampir setiap hari menyusuri gang dan jalanan di kawasan Bandung Barat untuk menemui nasabah yang menunggak cicilan kendaraan.
"Ditambah pulang malam terus kan, jadi dikira orangnya bukan kerja gitu," ucapnya.
Namun terlepas dari itu semua, dalam melaksanakan tugasnya Regina tak asal tagih atau tarik pembayaran nasabah. Ia tetap mengikuti prosedur atau SOP dari perusahaan termasuk proses negosiasi, penjelasan, hingga pendekatan personal.
"Kita juga enggak bisa sembarang narik unit. Terkecuali kalau konsumen udah bilang enggak sanggup bayar. Tapi tetap, kita ajak ngobrol dulu maunya gimana," katanya.
Namun tak jarang, rasa kemanusiaan membuatnya mengambil jalan yang berbeda dari prosedur resmi. Misalnya ketika ada nasabah yang ingin mengembalikan motor karena sudah tidak sanggup membayar.
Di satu sisi, perusahaan memang menerima pengembalian, tapi tidak ada kompensasi uang untuk konsumen.
"Nah itu kadang saya ajak mereka, gimana kalau dijual aja dulu, bareng-bareng. Jadi konsumen dapat uang juga, masih bisa buat kebutuhan mereka. Tapi ya itu, sebenarnya dilarang kantor. Kalau ketahuan, saya yang kena," bebernya.
Baginya, menagih bukan hanya soal menyetor angka ke kantor, tapi juga soal rasa. Ia pernah menangis saat membawa pulang motor dari nasabah dari daerah Batulayang.
"Si bapaknya udah enggak bayar tiga bulan, pas saya datang, malah nyerahin unit. Tapi saya malah sedih, karena kita tahu itu motor hasil usahanya. Kita manusia juga," ujar Regina.
Ia tahu profesinya bukan pekerjaan impian. Tapi dari profesi ini, ia belajar hal besar, kesabaran, kontrol emosi, dan rasa syukur. Belum lagi dengan tanggungan anak, ia mau tak mau harus tetap tegar berjuang sebagai penagih utang yang kerap dipandang buruk banyak orang.
"Kita jadi tahu kalau mau ngeluh juga, ternyata ada yang lebih berat keadaannya dari kita," ujar Regina.
(igo/fdl)