Jakarta -
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan alasan pemerintah untuk menyetop impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura. Hal ini dikarenakan harga harga beli BBM dari Singapura dinilai sama dengan harga beli di kawasan Timur Tengah atau Middle East.
Bahlil mengatakan selama ini langkah Indonesia mengimpor BBM dari Singapura merupakan praktik yang lucu. Pasalnya, Singapura merupakan negara yang tidak mempunyai minyak, sementara potensi cadangan minyak Indonesia banyak.
"Sudah gitu itu impornya dari Singapura lagi, yang nggak ada minyaknya. Lucu negara kita ini, kita impor minyak, BBM dari negara yang nggak ada minyaknya, kan lucu di dunia ini," kata Bahlil di Jakarta, Senin (26/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan pertimbangan tersebut, Bahlil mengatakan pihaknya memutuskan untuk mengalihkan impor BBM ke Middle East. Hal ini juga sebagai bentuk melindungi harga diri karena mengimpor BBM dari negara yang tidak mempunyai minyak.
"Harganya sama dengan harga kalau kita impor dari Middle East. Ya daripada begitu, saya putuskan aja nggak usah impor di sana (Singapura). impor aja di Middle East," katanya.
"Middle East mentertawai kita masih jauh lebih berharga daripada Singapura yang tertawa, karena dia nggak punya minyaknya, kan gitu logiknya," tambahnya.
Pada pernyataannya sebelumnya, Bahlil mengatakan impor BBM dari Singapura saat ini sekitar 54-59% dari total keseluruhan impor BBM RI.
Terkait rencana penyetopan impor tersebut, Bahlil mengatakan akan dilakukan secara bertahap. Di mana rencana penyetopan itu ditargetkan akan terjadi dalam kurun waktu enam bulan ke depan.
"Bertahapan ya. Tahap sekarang mungkin bisa sampai 50-60 persen. Dan mungkin suatu saat akan nol," katanya.
Ia mengatakan, pelaksanaan waktu tersebut dilakukan sejalan dengan menyiapkan infrastruktur bagi kapal-kapal besar yang bakal mengangkut bbm dari kawasan Timur Tengah maupun Amerika Serikat (AS).
"Sekarang kita, Pertamina, lagi membangun dermaga-dermaga yang bisa impor yang besar. Karena kalau dari Singapura kan kapalnya yang kecil-kecil. Itu juga salah satu alasan. Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali tidak ada masalah," katanya.
Bahlil menambahkan, alasan lainnya ialah adanya kondisi geopolitik yang terjadi saat ini, di mana Pemerintah AS menerapkan tarif resiprokal sebesar 32% kepada Indonesia.
Adapun untuk mengatasi tarif tersebut, Bahlil bilang Pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS. Dalam negosiasi tersebut Pemerintah Indonesia menawarkan untuk membeli produk LPG, minyak dan juga BBM ke AS.
"Tidak hanya itu, ini ada masalah geopolitik, geoekonomi. Kita mungkin juga harus membuat keseimbangan bagi yang lain," katanya.
(kil/kil)