Alih Fungsi Dapur MBG dalam Penanganan Bencana Dinilai Langkah Tepat

1 day ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik Dr Trubus Rahardiansyah menilai langkah pemerintah memfungsikan dapur Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai dapur umum dalam penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera barat merupakan kebijakan yang tepat. Ia menyebut keputusan tersebut dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat terdampak tanpa harus menunggu pembangunan dapur umum seperti pola penanganan bencana sebelumnya.

Menurut Trubus, MBG dirancang dengan fasilitas dapur yang standar, distribusi yang teratur, serta rantai pasok yang stabil. Dalam kondisi darurat, seluruh infrastruktur itu dapat langsung dialihkan untuk memenuhi kebutuhan makan para pengungsi.

“Dalam situasi bencana, kecepatan adalah faktor utama. Dapur MBG sudah tersedia dan beroperasi setiap hari untuk menyuplai makanan kepada anak sekolah. Maka ketika terjadi bencana, fasilitas itu langsung dapat dialihfungsikan untuk membantu korban, tanpa jeda waktu membangun dapur umum baru,” kata Trubus dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).

Ia menambahkan bahwa MBG terbukti tidak hanya menjadi instrumen pemenuhan gizi harian pelajar, tetapi juga dapat memberikan manfaat yang lebih luas sebagai sistem darurat pangan nasional ketika terjadi gangguan atau krisis.

Terkait pembiayaan, Trubus menegaskan tidak ada potensi tumpang tindih anggaran. Menurutnya, MBG memiliki struktur pendanaan mandiri, begitu juga dengan anggaran penanganan bencana yang dikelola oleh lembaga terkait.

“Dana MBG dan dana bencana sudah memiliki pos anggaran masing-masing. Keduanya berjalan berdampingan dan tidak saling mengganggu. Justru keduanya saling menguatkan agar sasaran pemenuhan makanan untuk anak sekolah maupun korban bencana bisa tercapai dengan baik,” ujarnya.

Ia menegaskan tidak sependapat dengan pandangan yang mengusulkan agar anggaran MBG dialihkan untuk penanganan bencana. Menurutnya, pengalihan anggaran justru dapat mengganggu perencanaan jangka panjang program MBG yang telah dirancang agar berkelanjutan.

“Pemerintah tentu sudah mengatur secara teknis alur penggunaan anggaran. Selama prosesnya sesuai prosedur, tidak ada konsekuensi hukum, tidak ada potensi audit bermasalah, dan tidak ada ruang penyalahgunaan. Yang penting, pelaksanaannya berjalan lancar dan korban bencana terpenuhi kebutuhannya," katanya.

Trubus menyoroti bahwa penanganan bencana tidak semata-mata urusan penyediaan makanan. Masalah rekonstruksi, kerusakan infrastruktur, gangguan sosial-ekonomi, hingga trauma psikologis korban membutuhkan gotong royong dan pembagian tugas yang jelas.

“Ada ribuan warga yang kehilangan keluarga dan harta benda. Situasi tersebut menimbulkan beban sosial yang besar. Maka kementerian dan lembaga harus bersatu dan bekerja dalam kerangka penanganan lintas sektor,” katanya.

Pada tahap distribusi pangan, ia menilai Badan Gizi Nasional tidak mungkin bekerja sendiri. Akses menuju wilayah bencana sering terputus, infrastruktur rusak, logistik terganggu, dan pasokan bahan makanan di lokasi sulit diperoleh.

Karena itu, menurutnya, peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia menjadi sangat penting untuk menjamin kelancaran distribusi, terutama pada kondisi lapangan yang terisolasi atau memiliki risiko tinggi.

Trubus mengingatkan bahwa Badan Gizi Nasional harus memperkuat fungsi monitoring agar kualitas makanan MBG tetap terjaga baik dalam situasi normal maupun selama penanganan bencana. Ia menyebut ada potensi masalah yang bisa muncul jika koordinasi tidak berjalan optimal, seperti keterlambatan pasokan, kualitas pangan menurun, atau risiko kontaminasi.

“Koordinasi yang lemah bisa memunculkan masalah klasik, misalnya kasus keracunan makanan yang pernah terjadi pada program bantuan pangan di beberapa daerah. Itu harus dicegah dengan pengawasan ketat,” ujarnya.

Ia menegaskan tiga aspek utama yang harus dijaga oleh pemerintah dalam implementasi MBG yaitu kualitas makanan, mulai dari bahan baku, pengolahan, hingga penyajian.

Kemudian kelancaran distribusi, terutama pada daerah terisolasi atau yang menghadapi hambatan logistik. Juga ketepatan sasaran, baik untuk pelajar sebagai penerima utama MBG maupun masyarakat terdampak bencana.

Dalam situasi darurat seperti di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Trubus menyebut kesempurnaan bukan prioritas. Fokus utama adalah memastikan setiap korban mendapatkan makanan layak setiap hari.

“Pada masa bencana tidak ada distribusi yang sempurna. Yang penting korban bisa makan dan kebutuhan dasar mereka terpenuhi terlebih dahulu," ujarnya.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |