Abu Mihjan: Pejuang yang Gagal Menahan Diri, tapi Menang Melawan Dosa

4 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara para sahabat Rasulullah, ada satu nama yang tak segemerlap lainnya — Abu Mihjan al-Tsaqafi. Sosok satu ini bukanlah tokoh yang selalu disebut dalam majelis tafsir atau hadits, melainkan sosok yang hidupnya dipenuhi kontradiksi: keberanian di medan perang, tapi juga perang melawan dirinya sendiri.

Dari Bani Tsaqif, ia dikenal sebagai orang yang lihai menunggang kuda, gagah di medan perang, dan dari karakter itulah kesannya kuat, meskipun dirinya punya kelemahan yang tidak mudah dilupakan.

Abu Mihjan masuk Islam setelah Fath Makkah (Penaklukan Mekah). Tidak lama kemudian, semangat jihad membara dalam dirinya. Tapi di sisi lain, kebiasaannya meminum khamr — sebuah minuman yang Islam larang — tidak segera hilang. Ia berkali-kali dikenai hukuman cambuk oleh masa Rasulullah ﷺ, bahkan di masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Kekeliruan dan kelemahan manusia ini membuat kisahnya terasa sangat manusiawi. Ia bukanlah makhluk sempurna; ia berjalan di antara doa dan godaan, di antara harapan syahid dan jeruji penjara. Sekalipun sudah berganti iman, nafsu lama masih bergelora. Sa’ad bin Abi Waqqash pernah menghadirkannya setelah ia dalam keadaan mabuk; karena itu, ia diperintahkan dijaga dan diikat agar tidak merusak ketertiban pasukan.

Saat Perang Qadisiyah melawan Persia di masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Mihjan merasakan panggilan yang tak bisa ia abaikan. Keinginan untuk ikut berjihad begitu kuat — sebuah dorongan dari hatinya yang menolak diam. Meski Khalifah sempat memutuskan untuk mengasingkannya sebagai bagian dari hukuman atas pelanggaran khamr, Abu Mihjan berhasil melarikan diri dan menyusul pasukan Muslim ke medan perang.

Di Qadisiyah, ia hadir dengan semangat yang membara. Meski dari luar tampak lemah — karena stigma mabuk, karena penjara — di medan tempur ia menjadi sosok yang diperhitungkan. Banyak musuh menjauhinya, banyak sahabat mengaguminya. Ia tak takut terjun ke tengah barisan, menghadapi gajah perang Persia, menghadapi derasnya tombak dan panah. Ia ingin mati syahid — bukan hanya karena perang, tapi karena keyakinan ia bisa memberi yang terbaik meskipun masa lalunya tak bersih.

Tapi cobaan tidak berhenti di situ. Setelah pertempuran selesai, janji yang ia buat kepada dirinya sendiri — untuk kembali ke penjara, mengembalikan borgol, menepati kesetiaan — menjadi ujian seberapa jauh ia serius dengan taubatnya. Ada yang meragukan perubahan dalam dirinya; ada pula yang melihat dalam tindakannya ketulusan yang tersembunyi. Dan di saat yang sama, rasa malu dan kesedihan menghantui hatinya: ia merindukan pertempuran, merindukan jihad sebagai cara menebus rasa bersalah.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |