Jakarta -
China mencabut larangan bagi para maskapai penerbangannya untuk penerimaan pesawat asal produsen Amerika Serikat (AS), Boeing. Hak ini menyusul aksi gencatan senjata perang dagang antara Negara Tirai Bambu itu dengan AS.
AS dan China pada Senin kemarin telah sepakat untuk memangkas tarif resiprokal setidaknya selama 90 hari. Hal ini sebagai sinyal penghentian sementara dari perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, Selasa (13/5/2025), pejabat di Beijing telah mulai memberi tahu maskapai domestik dan lembaga pemerintah pada pekan ini bahwa pengiriman pesawat yang dibuat di AS dapat dilanjutkan. Informasi ini berdasarkan sumber dari Bloomberg.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, Boeing menolak mengomentari laporan tersebut. Administrasi Penerbangan Sipil China juga tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar.
Pada bulan April lalu, Boeing mengatakan sejumlah pelanggannya di China telah mengindikasikan tidak akan menerima pengiriman pesawat baru karena perang tarif. Perusahaan juga berencana untuk menjual kembali puluhan pesawat.
Informasi ini juga telah dikonfirmasi langsung oleh CEO Boeing Kelly Ortberg. Pada kala itu, sejumlah pesawat 737 Max di pusat penyelesaian Boeing, Zhoushan, China, akhirnya dikembalikan ke AS.
"Mereka sebenarnya telah berhenti menerima pengiriman pesawat karena tarif," kata Ortberg, dikutip dari CNBC, Kamis (24/4/2025).
Boeing meyakini masih banyak maskapai dari negara lain yang akan menerima pesawatnya. Ortberg pun memastikan, tindakan China tidak akan mempengaruhi kondisi perusahaan.
"Ada banyak pelanggan di luar sana yang mencari pesawat Max. Kami tidak akan menunggu terlalu lama. Saya tidak akan membiarkan ini menggagalkan pemulihan perusahaan kami," terang dia.
Kini, kedua pihak telah sepakat untuk menghentikan sementara penerapan tarif impor selama 90 hari dan bilang bahwa tarif akan turun lebih dari 100 poin persentase menjadi 10%. Kedua negara berusaha untuk mengakhiri perang dagang yang telah mengganggu prospek global dan membuat pasar keuangan mengalami gonjang-ganjing.
Sejak menjabat per Januari, Trump telah menaikkan tarif yang dibayarkan oleh importir AS untuk barang-barang dari China menjadi 145%. Tarif ini dinilai sebagai tambahan dari tarif yang dikenakannya pada banyak barang China, selama masa jabatan pertamanya dan bea yang dikenakan pada saat pemerintahan Biden.
China membalas dengan memberlakukan pembatasan ekspor pada beberapa komoditas yang memiliki peran penting bagi produsen senjata dan barang-barang elektronik konsumen AS, dan menaikkan tarif pada barang-barang AS menjadi 125%.
Sengketa tarif menyebabkan perdagangan dua negara ini senilai hampir US$ 600 miliar terpaksa berhenti, mengganggu rantai pasokan, memicu kekhawatiran akan stagnasi ekonomi, dan memicu sejumlah PHK.
(shc/eds)