Menjaga Asa, Mengawal Harapan Haji 2026

1 hour ago 1

Oleh : Kifah Gibraltar Bey Fananie; Lulusan Hubungan Internasional ADA University, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik dan Governansi Universitas Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara gema zikir dan kisi-kisi rencana keberangkatan, ada satu suasana yang kini menguat di berbagai ruang diskusi masyarakat: harap-harap cemas menanti Haji 2026. Di ruang-ruang pengajian, di hall manasik, hingga di grup percakapan keluarga, nama Tanah Suci kembali dipanggil dengan nada rindu.

Namun bersamaan dengan itu, muncul pula pertanyaan-pertanyaan baru seputar sistem penyelenggaraan haji yang kini berubah dan mulai memasuki fase yang terasa berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Di tengah perubahan itu, satu istilah mencuat menjadi perbincangan luas: Syarikah. Kata ini bergerak cepat sebelum penjelasan resminya sempat menjangkau semua telinga. Bagi sebagian calon jamaah, istilah ini terdengar teknis dan asing; bagi sebagian lain, tampak seperti perubahan besar yang membuat mereka harus kembali mengatur ekspektasi; dan bagi sebagian kecil, istilah ini bahkan menimbulkan kekhawatiran — lebih karena suara potongan informasi, bukan karena pemahaman utuh tentang konteks kebijakannya.

Padahal jauh sebelum ia dipersepsikan sebagai sesuatu yang asing, Syarikah lahir dalam ruang kebijakan resmi, melalui struktur hukum dan tata kelola pelayanan haji yang sedang bertransformasi di Arab Saudi.

Ketika Bahasa Menjadi Celah Salah Paham

Kekhawatiran publik ini mulanya bersumber dari hal sederhana, yaitu kesalahan fonetik. Kata sharikah (شَرِكَة), yang berarti perusahaan atau institusi layanan resmi, terdengar mirip bagi sebagian orang dengan kata sariqah (سَرِقَة), yang berarti pencurian. Kesamaan bunyi itulah yang melahirkan salah tafsir, bukan substansi kebijakannya. Potongan-potongan penjelasan yang tersebar tanpa konteks yang lengkap memperbesar salah paham itu menjadi asumsi, dan asumsi beranak-pinak menjadi keresahan.

Padahal dalam dokumen resmi Ministry of Hajj and Umrah Regulatory Framework (2022), istilah ini dijelaskan secara tegas sebagai lembaga layanan yang beroperasi di bawah kontrak dan pengawasan pemerintah Saudi. Redaksi formal yang tercantum dalam dokumen itu berbunyi: “Pilgrimage services for international pilgrims shall be provided through authorized Syarikah under ministry supervision.”

Dengan demikian, Syarikah bukan entitas privat tanpa kendali, bukan kelompok bisnis yang tiba-tiba hadir, dan bukan pula ruang komersialisasi ibadah sebagaimana sebagian orang khawatirkan. Ia adalah struktur layanan resmi negara. Mereka adalah perusahaan asal Saudi yang dimiliki orang Saudi, dikelola orang Saudi, dan terpilih melalui mekanisme tender Pemerintah Saudi

Evolusi Sistem: Dari Muassasah Menuju Tata Kelola Modern

Untuk memahami mengapa perubahan ini terjadi, kita harus kembali menelusuri perjalanan panjang tata kelola haji di Arab Saudi. Selama puluhan tahun, jamaah internasional dilayani melalui Muassasah, lembaga berbasis wilayah yang menjalankan fungsi penyedia akomodasi, transportasi, hingga layanan dasar selama masa haji.

Namun seiring berkembangnya teknologi dan meningkatnya jumlah jamaah dunia, pemerintah Saudi menyadari bahwa sistem lama perlu diperbarui agar lebih tertata, terukur, dan mudah diaudit. Inisiatif transformasi besar dalam Saudi Vision 2030 menjadi titik balik dari perubahan itu.

Sistem syarikah (perusahaan swasta yang mengelola layanan haji) mulai diperkenalkan dan diterapkan sebagai pengganti sistem Muassasah secara bertahap sejak tahun 2022. Transformasi penuh, terutama untuk jemaah dari berbagai negara termasuk Indonesia, dilaksanakan secara menyeluruh pada musim haji tahun 2025. 

Namun hasil evaluasi yang dilakukan Pemerintah Saudi menunjukkan bahwa variasi operator tidak otomatis meningkatkan mutu layanan. Justru koordinasi menjadi panjang, standar tidak seragam, dan ada variasi kualitas pelayanan antarwilayah jamaah.

Konsolidasi Menuju Dua Syarikah Utama

Setelah melalui evaluasi teknis dan kebijakan multi-tahun, Pemerintah Arab Saudi akhirnya mengambil langkah konsolidatif: mulai Haji 2025 dan diperkuat untuk Haji 2026, hanya dua Syarikah ditetapkan sebagai operator utama untuk jamaah internasional termasuk jamaah dari kawasan Asia Tenggara dan ASEAN. Diketahui, kekacauan Haji pada tahun 2024 salah satunya disebakan oleh banyak-nya jumlah Syarikah yang mencapai angka 8. Hal ini memperkuat sentralisasi sistem, sehingga langkah-langkah komunikasi di tahap teknis bisa berjalan dengan lancer.

Dua operator itu adalah Rakeen Mashariq dan Al Bait Guest.

Rakeen Mashariq adalah transformasi dari layanan operator Mashariq yang selama ini melayani jamaah dari Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam pengelolaan logistik skala besar di Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Sementara Al Bait Guest adalah perusahaan layanan terintegrasi yang sejak lama berfokus pada akomodasi hotel, katering, transportasi, hingga sistem monitoring digital berbasis izin operasional.

Keduanya dipilih bukan semata karena besar, melainkan karena terbukti memenuhi standar audit layanan yang lebih ketat, memiliki kemampuan integrasi digital yang memadai, dan mampu melayani gelombang jamaah dengan variasi kebutuhan dan latar belakang budaya.

Dalam memo internal Pilgrimage Service Operator Alignment 2024, konsolidasi ini dijelaskan dengan kalimat yang lugas: “Fewer operators ensure clearer accountability, faster coordination, and consistent service standards.”

Dengan hanya dua operator, pemerintah Saudi dapat memperpendek rantai koordinasi, mempercepat respons, dan memperkuat kualitas layanan.

Dimensi Kebijakan: Sistem Monarki Absolut dan Dinamika Regulasi

Salah satu hal yang perlu dipahami masyarakat Indonesia adalah konteks tata pemerintahan Arab Saudi. Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi konstitusional dan mekanisme legislasi panjang, Arab Saudi merupakan negara monarki absolut.

Perubahan kebijakan tidak harus melewati proses legislatif, uji publik, atau sosialisasi panjang sebagaimana terjadi di Indonesia. Dasar yang menopangnya tercantum dalam konstitusi administratif Saudi, Basic Law of Governance (1992), melalui ketentuan: “The King shall oversee governance and execution of state policies.”

Dalam konteks penyelenggaraan haji yang merupakan salah satu operasi manusia terbesar dan paling kompleks di dunia, mekanisme kebijakan yang fleksibel justru diperlukan. Regulasi dapat disesuaikan dengan cepat agar pelayanan jamaah tetap responsif terhadap kondisi lapangan, keamanan, cuaca ekstrem, atau perubahan dinamika kapasitas fasilitas.

Maka perubahan sistem bukan tanda inkonsistensi, tetapi bentuk adaptasi.

Bagaimana Posisi Jamaah Indonesia?

Indonesia, sebagai negara pengirim jamaah terbesar di dunia, berada dalam pusat transisi ini. Baik jamaah reguler maupun jamaah haji khusus akan masuk dalam layanan yang dikelola dua Syarikah tersebut. Namun ini tidak berarti peran penyelenggara haji asal Indonesia mengecil. Perannya justru bergeser menjadi fasilitator yang menjembatani kebutuhan jamaah dan eksekusi layanan di lapangan.

Untuk jamaah haji khusus, ruang layanan premium tetap ada, selama berada dalam batas regulasi Syarikah. Dengan kata lain, fleksibilitas layanan tetap hidup, namun dalam koridor tata kelola resmi.

Dari Kekhawatiran Menuju Optimisme

Kini, setelah istilah Syarikah mulai dipahami dalam konteks penuh, bukan sepotong atau samar, semestinya kita bergerak dari sikap menunggu dengan cemas menuju sikap menunggu dengan percaya. Bukan percaya buta pada perubahan, tetapi percaya karena informasi mulai utuh dan arah kebijakan mulai jelas.

Transformasi Syarikah bukan penghalang ibadah, melainkan infrastruktur administratif yang sedang diperbaiki. Ada masa transisi, ada penyesuaian, dan ada ruang pembelajaran. Namun perubahan ini mengarah pada tujuan yang lebih besar: agar jamaah dunia, termasuk Indonesia, mendapatkan layanan yang lebih layak, lebih transparan, dan lebih dapat dievaluasi.

Karena itu, memasuki Haji 2026, mungkin saatnya kita memegang satu sikap: optimis yang realistis. Optimis karena perubahan bergerak ke arah perbaikan; realistis karena sistem masih terus dibangun.

Penutup: Menuju Kesucian

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi juga perjalanan mental menuju ketenangan. Ketika kita memahami konteks, informasi tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi bekal.

Maka kepada calon jamaah Indonesia yang sedang menyiapkan diri, satu pesan sederhana patut disampaikan: berangkatlah dengan doa, tetapi juga dengan pengetahuan. Karena pengetahuan menghilangkan prasangka, dan prasangka yang hilang membuka ruang bagi ketenangan dan ketenangan adalah bagian dari ibadah.

Haji 2026 sudah dekat di depan mata. Kini saatnya menjaga asa, mengawal harapan, dan melangkah dengan hati yang lebih yakin.

Wallāhu a‘lam.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |