Ketua DPD: Pembangunan Masih Berpijak pada Logika Daratan

39 minutes ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia tak boleh terus berpikir daratan di atas fakta sebagai negara kepulauan. Di sisi lain, keadilan fiscal harus berlayar hingga ke pulau-pulau terjauh. Sebab, Indonesia lahir dari laut, tumbuh dari pulau-pulau, dan disatukan samudera.

Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin menegaskan hal ini pada rakor nasional akselerasi pembahasan RUU tentang Daerah Kepulauan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 di Ruang Sidang Nusantara V, Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD, Selasa (2/12/2025).

Menurut dia, rakor nasional ini ruang konsolidasi politik kenegaraan untuk memastikan Indonesia sebagai negara kepulauan tidak hanya diakui dalam wacana, tetapi dihadirkan secara nyata dalam keadilan pembangunan.

‘’Wawasan Nusantara telah lama kita yakini sebagai fondasi geopolitik bangsa. Namun harus kita akui secara jujur, pembangunan nasional hingga hari ini masih terlalu berpijak pada logika daratan,’’ katanya menegaskan.

Inilah mengapa, jelas dia, RUU tentang Daerah Kepulauan yang kini masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2025 menjadi sangat strategis. Ia menambahkan, DPD mendengar denyut persoalan daerah secara langsung. Daerah kepulauan selama ini dalam situasi yang tidak setara.

Formula Dana Alokasi Umum masih berbasis daratan, belum mengakomodasi luas laut, biaya logistik, dan kompleksitas pelayanan antarpulau. Provinsi-provinsi kepulauan harus mengelola wilayah berlipat luas dengan kapasitas fiskal yang terbatas.

Di saat yang sama, Indeks Kemahalan Konstruksi yang tinggi membuat pembangunan sekolah, puskesmas, dan infrastruktur dasar memerlukan biaya jauh lebih besar.

Keterbatasan transportasi laut dan udara, mahalnya tiket, hingga blank spot jaringan komunikasi menjadi penghambat aktivitas ekonomi masyarakat.

‘’Ketimpangan ini bukan sekadar statistik, ia adalah kenyataan yang dirasakan rakyat di pulau-pulau kecil dan terluar setiap hari,’’ ungkap Sultan. Kondisi ini diperparah absennya payung hukum khusus.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai payung hukum umum belum menjawab tantangan wilayah kepulauan yang terfragmentasi, berbasis laut, dan berbiaya tinggi.

Tanpa lex specialis, daerah kepulauan dipaksa berkompetisi dengan formula yang tidak adil. Menurut Sultan, RUU Daerah Kepulauan hadir membawa koreksi melalui tiga fondasi.

Pertama, menghadirkan keadilan fiskal dengan formula anggaran yang mempertimbangkan cost of distance dan cost of logistics dengan memasukkan luas laut, biaya konektivitas, dan kemahalan pembangunan.

Kedua, memperluas kewenangan pengelolaan laut bagi provinsi kepulauan agar potensi bahari menjadi sumber kemakmuran. Sedangkan pilar ketiga, menjadikan konektivitas sebagai kewajiban negara, bukan sekadar proyek pembangunan.

Dalam konteks ini, menurut Sultan, DPD menegaskan perannya sebagai jembatan strategis antara pusat dan daerah. ‘’Kami bukan sekadar menyerap aspirasi, tetapi mengartikulasikannya dalam kebijakan dan legislasi nasional,’’ jelasnya.

Dengan demikian, DPD berdiri di tengah, menghubungkan denyut daerah dengan nadi kebijakan pusat, agar setiap regulasi lahir dari realitas, bukan asumsi.

Dalam konteks itulah, RUU ini bukan sekadar produk legislasi, melainkan penanda perubahan paradigma pembangunan nasional. RUU Daerah Kepulauan kompas kebijakan menuju Indonesia Sentris yang adil dan berkelanjutan.

Lebih dari aspek fiskal dan kewenangan, RUU Daerah Kepulauan juga sejalan dengan semangat Green Democracy. “Demokrasi modern harus berpihak tidak hanya pada manusia hari ini, tetapi juga generasi masa depan.”

Pembangunan daerah kepulauan dan kelautan harus berbasis keberlanjutan, perlindungan pesisir, konservasi ekosistem, dan ekonomi biru yang bertanggung jawab.

Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto melalui program Asta Cita: penguatan daerah, kedaulatan sumber daya alam, dan pemerataan pembangunan menjadi agenda utama negara.

Karena itu, kata Sultan, DPD menegaskan komitmennya untuk terus bersinergi dengan DPR dan pemerintah dalam mewujudkan kebijakan nasional yang tegak di atas kepentingan rakyat dan berpihak pada wilayah terluar negeri.

Penyatuan visi

Sultan menambahkan, rakor nasional ini harus menjadi momentum penyatuan visi antara pusat dan daerah. Keadilan fiskal harus menjadi kebijakan, bukan wacana. Pemerataan pembangunan harus menjadi kenyataan, bukan sekadar target.

Indonesia Sentris bukan slogan. Ia adalah keberanian negara untuk memulai pembangunan dari pulau kecil, pesisir, dan perbatasan.

Lewat RUU Daerah Kepulauan ini, tidak sekadar membahas sebuah undang-undang, namun sedang mendesain masa depan Indonesia sebagai bangsa bahari yang berdaulat, adil, dan lestari.

Ia berharap, semoga rakornas ini menjadi titik tolak lahirnya kesepahaman besar, soliditas politik, dan komitmen kolektif untuk menghadirkan keadilan hingga ke pulau-pulau terjauh.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |