Fenomena 'Rojali' Akan Hilang Jika Ekonomi RI Tumbuh 8%

5 hours ago 3

Jakarta -

Belakangan ini muncul fenomena rombongan jarang beli atau rojali di pusat perbelanjaan atau mal. Umumnya, rombongan ini hanya sekedar melihat-lihat saja, tanpa belanja.

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengatakan, fenomena rojali ini muncul sebagai dampak langsung dari penurunan daya beli di masyarakat. Namun kondisi ini hanya sebagian kecil dari pengunjung mall.

"Fenomena rojali tidak berjumlah banyak dan hanya bersifat sementara dikarenakan adanya penurunan daya beli masyarakat," katanya saat dihubungi detikcom, Minggu (20/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski berlangsung sementara, Widjaja mengatakan bahwa fenomena ini akan terus ada jika ekonomi dan daya beli masyarakat menurun. Ia menegaskan bahwa fenomena rojali akan benar-benar hilang jika target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% dapat tercapai.

"Untuk masuk ek kondisi normal tergantung terhadap daya beli masyarakat. Namun kika kita berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang ditargetkan oleh pemerintah maka tentunya fenomena tersebut akan sangat jauh berkurang ataupun dapat dikatakan relatif tidak ada lagi," katanya.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, saat ini masyarakat berhati-hati membelanjakan uangnya di sepanjang semester I-2025, terutama kelas menengah atas.

"Tercermin di big data, jadi di big data kalau kita lihat trennya sejak awal tahun sampai Juni belum bagus. Company sudah oke terutama di beberapa sektor, tapi secara konsumen, terutama kelas menengah atas yang punya uang, mereka men-drive 70% konsumsi," tutur dalam acara Editors Briefing Bank Indonesia (BI) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Jumat (18/7/2025).

Kehati-hatian masyarakat dalam membelanjakan uangnya terlihat dari pengakuan pemasok barang mahal yang mengakui kondisi ini seperti krisis 2008.

"Saya melihat memang ada kehati-hatian. Saya perhatikan ketemu beberapa supplier luxury tas mereka merasakan, ada beberapa pemegang merek, ini kok mirip-mirip seperti krisis 2008," kata David.

Mereka cenderung memilih untuk menanamkan uangnya di sejumlah instrumen investasi. David melanjutkan, masyarakat kelas menengah kebanyakan 'memarkirkan' uangnya di instrumen investasi seperti deposito, giro, dan Surat Berharga Negara (SBN).

"Tapi dari sisi tenaga dalam besar lagi, sementara parkir dulu di instrumen investasi bunga 9% 8% giro, deposito, SBN lumayan tinggi, belum instrumen investasi lain. Emas digital, emas biasa, perhiasan. Investasi lagi menarik buat mereka, sementara mereka ke sana dulu," tutur David.

(kil/kil)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |