AS-China Mendadak 'Mesra' Lagi, Ini yang Perlu Diwaspadai RI

15 hours ago 2

Jakarta -

Kesepakatan Amerika Serikat (AS) dengan China dalam melakukan 'gencatan senjata' membuat kekhawatiran akan gonjang-ganjing perekonomian global mulai mereda. Meski begitu, Indonesia tetap harus waspada di tengah kondisi tersebut.

Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, mengingatkan walaupun ada sedikit ketenangan di pasar akibat 'gencatan senjata' selama 90 hari ini, belum tentu pergolakan ekonomi global seketika sirna. Para investor pun terpantau kini memasang mode 'was-was'.

"Bagi pasar itu masih waswas juga. Selama 90 hari tidak diterapkan biaya impor, tapi setelah 90 hari akan diterapkan biaya impor, yaitu impor Tiongkok ke Amerika 30%, impor Amerika ke Tiongkok 10%. Artinya apa, masih akan ada perang dagang," kata Ibrahim, kepada detikcom, Selasa (13/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, Ibrahim menilai, aksi 'gencatan senjata' ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga emas mulai melandai. Pergolakan juga semakin mereda ditambah dengan penurunan tensi geopolitik antara Israel dengan Palestina. Nilai dolar terhadap mata uang negara lainnya juga diperkirakan akan mengalami penguatan.

"Ini yang sedikit membuat kegaduhan geopolitik, kemudian kegaduhan perang dagang, ini sedikit landai. Ini yang membuat harga emas itu turun. Kemudian di sisi lain pun juga kebijakan bank sentral Amerika kemungkinan besar akan membahas tentang penurunan suku bunga bulan Juli," ujarnya.

Meski demikian, Ibrahim meyakini bahwa kondisi penurunan harga emas sendiri tidak akan berlangsung lama dan emas akan kembali bangkit. Salah satu pendorongnya, konflik Rusia-Ukraina masih terus berjalan.

Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengingatkan, dampak rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia.

"Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi," kata Bhima, dihubungi terpisah.

Sedangkan untuk dampak terhadap kemungkinan PHK di sektor padat karya, ini akan bergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia. Menurut Bhima, jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China.

"Investasi dari AS dan negara Eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4% (q-to-q) dibanding kuartal sebelumnya," ujarnya.

Di samping itu, menurutnya, Indonesia juga harus lebih agresif melobi AS dengan gunakan pembaruan IUPK Freeport, serta relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport. Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China.

"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%. Tetap perlu diwaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi. Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS," kata dia.

(shc/eds)

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |